Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan penyebab pelemahan nilai tukar rupiah ini adalah faktor eksternal yakni normalisasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat.
"Kondisi pelemahan rupiah baru berakhir jika normalisasi kebijakan suku bunga The Fed berakhir dan kinerja ekonomi domestik khususnya neraca perdagangan membaik," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Minggu (2/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Naik LRT Jakarta Gratis Sampai 20 September |
Nilai tukar rupiah bahkan berpotensi menembus level psikologis baru. Hal ini karena dipicu dari faktor domestik defisit neraca perdagangan yang dipicu meningkatkan proteksi dagang dan fluktuasi harga komoditas jadi input negatif bagi kinerja pertumbuhan ekonomi.
"Ada potensi pelemahan nilai rupiah bahkan menembus level psikologis 15.000," ujar Bhima.
Menurut Bhima, di dunia, krisis mata uang sudah terjadi di Argentina dan Turki. Kedua negara tersebut masuk dalam kelompok fragile five. Nah menurut dia, dengan kondisi ini hanya tinggal menunggu waktu untuk dampak yang cukup besar di ekonomi Indonesia.
"Transmisinya lewat sektor keuangan dengan keluarnya dana asing secara konsisten. Rupiah yang melemah jadi satu indikator ekonomi kita sudah terpapar krisis," imbuh dia.
Mengutip data perdagangan Reuters, Jumat (31/8/2018), dolar AS bergerak dari Rp 13.281 hingga Rp 14.844 sepanjang tahun ini. Dengan demikian rupiah sudah tertekan 11,7% terhadap dolar AS hingga saat ini.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah yang melemah. Intervensi BI dalam pasar valuta asing (valas) ditingkatkan intensitasnya. (kil/zlf)