Bisakah Dolar AS Tembus Rp 15.000?

Bisakah Dolar AS Tembus Rp 15.000?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 04 Sep 2018 16:25 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap Rupiah. Berdasarkan perdagangan Reuters nilai dolar pukul 16.00 WIB tercatat Rp 14.930 atau lebih lemah dibandingkan perdagangan siang sebesar Rp 14.897.

Angka ini hampir mendekati level Rp 15.000, kira-kira apakah bisa menembus psikologis baru itu?

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan selain karena faktor global, faktor domestik juga bisa mempengaruhi hal tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya, kondisi kinerja perdagangan Indonesia kurang optimal. Neraca perdagangan terus mengalami defisit. Menurut Bhima hal ini akan mempengaruhi defisit transaksi berjalan yang kuartal II 2018 tembus 3%.

"Artinya tekanan nilai tukar diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan dan menembus batas psikologis Rp 15.000 pada akhir 2018, tahun 2019 harus diwaspadai juga kebijakan bunga acuan Fed yang akan naik tiga kali lagi. Ini yang bisa memicu pelemahan kurs lebih dalam," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Dia menjelaskan, tekanan terhadap Rupiah ini paling banyak dipengaruhi tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.

"Kondisi diperparah oleh rencana kenaikan Fed rate pada akhir September ini. Akibatnya investor melakukan fight to quality atau menghindari resiko dengan membeli aset berdenominasi dolar AS. Indikatornya US Dollar index naik 0,13% ke level 95,2. Dolar index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang lainnya," imbuh dia.



Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan tekanan yang terjadi pada Rupiah merupakan faktor eksternal.

"Kalau dulu itu geraknya cepat sekali, cepaaat sekali. Hanya dalam beberapa bulan dari kisaran Rp 2.000 di November 1997 jadi Rp 16.000 di 1998. Sekarang kan sedikit-sedikit, memang kita tidak bisa prediksi akan berhenti di mana, lagi-lagi karena faktor eksternal," ujar Jahja.

Menurut Jahja, kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan periode 1997-1998. Saat itu inflasi tinggi, BI menaikkan bunga acuan terlalu cpat, Rupiah tidak terkendali, cadangan devisa RI tidak cukup.

Menurut Jahja, saat itu pengawasan penjualan dolar AS sangat longgar dan menyebabkan spekulan bisa memborong dolar.

"Jadi orang mau beli dolar AS itu gampang sekali. Kalau sekarang kan mau beli banyak ditanya dulu underlyingnya mana? Kalau butuh buat impor harus jelas dulu peruntukkannya apa. Kalau dulu susah, jadi meskipun bunga naik 60% itu ya tidak akan menolong karena orang tetap spekulasi. Kalau sekarang tidak seperti itu dan bisa dikendalikan," imbuh dia.

(kil/eds)

Hide Ads