Dalam kesempatan tersebut CT menyampaikan di negara maju sudah tidak dipakai kata wajib pajak, melainkan pembayar pajak (tax payer). Sementara di Indonesia masih berlaku sebutan wajib pajak.
CT menjelaskan secara filosofis perbedaan sebutan wajib pajak dengan pembayar pajak sangat penting. Jika disebut wajib pajak, seolah mereka hanya punya kewajiban saja, tidak punya hak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Negara maju semua namanya sudah tax payer, pembayar pajak, karena di situ ada kewajiban dan hak. Mudah mudahan dengan transformasi sistem perpajakan, kita bisa," katanya di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Dia pun bercerita dulu pernah menjadi ketua tim review undang-undang pajak. Bersama beberapa pengusaha dan direktur di Ditjen Pajak, dia membahas mengenai hal tersebut.
"Saya waktu itu berharap kata wajib pajak jadi pembayar pajak karena di situ ada kewajiban tapi juga ada hak. Tapi sampai sekarang perjuangan saya belum berhasil," sebutnya.
Selain itu, CT juga mengingatkan agar para petugas pajak dan wajib pajak bisa berkolaborasi dengan baik.
"Ini semua sehingga pajak itu pemahamannya menjadi sebuah instrumen, bukan hanya collection-nya pemerintah tapi menjadi instrumen keadilan, instrumen pemerataan, dan instrumen pertumbuhan," sebutnya.
"Untuk teman teman pajak, dalam era ini kolaborasi jadi kata kunci antara dunia usaha sama teman teman perpajakan, saling membantu, saling mendukung, tidak saling menyalahkan kedua belah pihak. Ini harus kita lakukan," tutupnya. (hns/hns)