"Kalau terjadi secara gradual, saya pikir dampaknya bisa ditolerir, asalkan (kenaikan harga) perlahan," kata Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Oleh karenanya, hitung-hitungan kenaikan harga premium harus benar-benar memperhatikan kondisi fiskal, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) serta daya beli masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, angka kenaikan harga premium yang sebelumnya direncanakan pemerintah sudah tepat, yaitu sebesar 7%, atau dari Rp 6.650 menjadi Rp 7.000/liter di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
"Saya pikir kemarin kalau hitungannya naik Rp 500 saya pikir itu cukup seimbang ya untuk turunkan CAD di satu sisi, di sisi lain kita ingin supaya daya belinya jangan sampai drop terlalu jauh," ujarnya.
Selain itu, dia menyarankan ke depannya pemerintah rutin mengevaluasi secara berkala untuk menyesuaikan harga premium. Jadi kenaikan harga BBM tidak dilakukan begitu saja secara tiba-tiba dan lebih terukur.
"Menurut saya sudah seharusnya naik dan mungkin harus dievaluasi berkala seperti dulu ya, terserah mau 1 bulan, mau 3 bulan ya. Tapi yang jelas kita harus antisipasi dampaknya ke kondisi fiskal, kondisi Pertamina dan daya beli masyarakat," tambahnya.
Tonton juga 'Ini Alasan BBM Premium Batal Naik':
(eds/eds)