-
Petani yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) kemarin berunjuk rasa di Monumen Nasional (Monas) terkait gula petani yang tidak laku di pasaran.
Menurut Ketua Unum APTRI Soemitro Samadikoen penyebab gula tak laku di pasaran karena banyaknya gula rafinasi atau gula industri yang rembes di pasar.
Alhasil, banyak masyarakat yang membeli gula rafinasi untuk dikonsumsi daripada membeli gula milik petani.
Petani gula yang tergabung di dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) melakukan unjuk rasa pagi ini. Dalam kegiatan itu, para petani sempat melakukan aksi bagi-bagi gula gratis.
Aksi bagi-bagi gula dilakukan sebagai bentuk kekecewaan petani lantaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih impor gula sehingga membuat gula miliknya tidak laku di pasaran.
Menurut salah satu petani, Dwi jumlah gula yang dibagikan mencapai 400 kilogram (kg).
Ia mengatakan, gula tersebut dibagikan di depan istana negara kepada pejalan kaki, pengendara mobil dan motor.
"Jam 10-an tadi kita bagi-bagi gula jumlahnya ada 400 kg. Itu ke pejalan kaki, pengendara motor, mobil," ungkap dia kepada detikFinance, Selasa (16/10/2018).
Lebih lanjut, ia mengungkapkan alasan pembagian gula tersebut dilakukan sebagai aspirasi kekecewaan. Pasalnya, saat ini gula petani tidak laku di pasaran.
"Ini aspirasi petani karena nggak laku ini gula," sambung dia.
Petani gula atau APTRI mengaku rugi hingga Rp 2 triliun. Hal itu dikarenakan gula yang tak laku di pasaran.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan pihaknya ingin pemerintah untuk menghentikan impor gula baik rafinasi maupun konsumsi. Pasalnya saat ini stok gula dalam negeri telah berlebih.
Imbasnya, gula petani dalam negeri tidak laku di pasaran dan membuat kerugian mencapai Rp 2 triliun.
Angka tersebut didapat dari kerugian biaya produksi sebesar Rp 10.600 hingga Rp 11.000 per kilogram (kg). Sedangkan harga beli ganya Rp 9.700 per kg dengan begitu ada selisih harga mencapai Rp 2.000 per kg.
"Kerugian kami untuk tahun 2018 sebesar Rp 2 triliun. Itu dengan perhitungan kerugian petani itu Rp 2.000 per kg dikali 1 juta ton gula petani yang tidak laku," ungkap Soemitro di Monas, Selasa (15/10/2018).
Lebih lanjut, ia menjelaskan saat ini pasokan gula yang berlebih ada sebanyak 2,4 juta ton. Angka itu terdiri dari sisa stok 2017 sebanyak 1 juta ton, rembesan gula 2018 sebanyak 800 ribu ton, produksi gula konsumsi 2018 2,1 juta ton, impor gula konsumsi tahun 2018 sebanyak 1,2 juta ton.
Sehingga total stok gula sebanyak 5,1 juta ton. Sedangkan kebutuhan gula konsumsi hanya sebesar 2,7 juta ton.
Dipantau detikFinance, unjuk rasa yang dilakukan APTRI dimulai sejak pukul 09.40 WIB. Kemudian, perwakilan sebanyak 10 orang memasuki istana negara sekitar pukul 12.00 WIB.
Berdasarkan informasi, mereka akan bertemu dengan salah satu deputi dari Kantor Staf Presiden (KSP) untuk menyampaikan tuntutan tersebut.
Adapun, tuntutan yang disampaikan empat hal, yakni setop impor gula, membeli gula tani yang tidak laku, tindak tegas pelaku rembesan gula rafinasi ke pasar dan ganti menteri perdagangan.
Memasuki Istana Negara, 10 perwakilan tersebut memakai kaos #2018GantiMendag berlatar warna hitam. Hal itu dilakukan karena menganggap Mendag sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas impor gula.
"Ganti menteri perdagangan sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap banjirnya impor gula," kata Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen di Monas, Jakarta Pusat, Selasa (16/10/2018).
Dalam pertemuan tersebut, Setneg mempertemukan para petani dengan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan. Pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 2,5 jam.
Dalam pertemuan itu, kata Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin, pihaknya meminta agar pemerintah memberikan payung hukum terkait lelang gula rafinasi.
Sebab, sistem lelang gula rafinasi secara konvensional justru membuat banyak rembesan gula ke pasaran. Sedangkan, lelang gula rafinasi online dianggap mampu memperkecil kemungkinan rembesan gula ke pasar.
Dengan begitu, impor gula rafinasi bisa lebih terkontrol karena tidak ada rembesan gula ke pasaran.
"Solusinya kuota dari impor rafinasi minta dikurangi. Lalu menjelaskan rafinasi lewat lelang karena yang konvensional itu banyak rembesan. Jadi minta hukum lelang pepres di terbitkan jadi penjualan rafinasi lewat lelang online," kata dia di Monas, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan pihaknya akan mempertimbang rencana tersebut.
Sebab, sebelumnya Kemendag sendiri pernah melakukan percobaan lelang gula rafinasi online. Namun, kegiatan tersebut dihentikan seiring terbitnya surat rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mereka memang ingin ada lagi karena pola lelang bagus. Pemerintah sih silakan saja ajukan tapi kan yang dulu sempat dibatalkan karena ada surat rekomendasi KPK, nggak boleh," ungkap dia.
Ia juga menjelaskan, pada dasarnya rekomendasi impor gula rafinasi diputuskan bersama-sama dalam rapat koordinator terbatas (rakortas).