4 Tahun Jokowi-JK, Transaksi Berjalan RI Masih Defisit

4 Tahun Jokowi-JK

4 Tahun Jokowi-JK, Transaksi Berjalan RI Masih Defisit

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 20 Okt 2018 11:54 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Indonesia adalah negara yang masih mengalami defisit pada neraca transaksi berjalan. Kondisi ini sudah terjadi beberapa tahun belakangan, karena impor yang lebih besar dibandingkan ekspor.

Defisitnya neraca transaksi berjalan, akan membuat cadangan devisa yang dimiliki sebuah negara terkuras. Karena cadangan devisa harus ditarik untuk membiayai derasnya aliran impor barang dari luar negeri.

Padahal, investor asing jika ingin menanamkan modal di sebuah negara, akan melihat angka current account deficit (CAD) sebagai salah satu nilai yang harus terpenuhi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari data Bank Indonesia (BI) pada kuartal II 2018, defisit neraca transaksi berjalan tercatat US$ 8 miliar atau 3% dari produk domestik bruto (PDB). Angka CAD secara kuartalan itu memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode kuartal I 2018 yang sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,6% dari PDB.

"Pada kuartal II meningkat sejalan dengan kegiatan ekonomi, yang tercermin dari produk domestik bruto (PDB) yang didorong dari konsumsi dan investasi atau kegiatan manufaktur," ujar Direktur Eksekutif Departemen Statistik BI Yati Kurniati dikutip dari berita detikFinance (10/8).



Defisit transaksi berjalan yang melebar juga dipengaruhi oleh siklus pembayaran dividen dan utang luar negeri (ULN). Karena sebagian korporasi memiliki jatuh tempo dalam jumlah besar yang bersamaan dan umumnya dilakukan pada kuartal II.

Dari data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) pada kuartal IV 2014 transaksi berjalan RI tercatat mengalami defisit sebesar US$ 6,2 miliar atau sekitar 2,81% dari produk domestik bruto.

Kinerja transaksi berjalan kuartal I 2014 lebih buruk jika dibandingkan periode yang sama tahun 2013 yang sebesar US$ 4,3 miliar atau 2,05% dari PDB. Pemburukan kinerja ini karena menurunnya surplus perdagangan nonmigas sejalan dengan turunnya ekspor akibat masih belum kuatnya permintaan dan melemahnya harga komoditas.

Secara keseluruhan, kinerja transaksi berjalan periode 2014 membaik dengan mencatatkan defisit US$ 26,2 miliar atau 2,95% terhadap PDB. Lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18%.

Perkembangan tersebut didukung oleh menurunnya impor akibat melemahnya permintaan domestik sebagai dampak dari moderasi pertumbuhuhan domestik dan tertahannya pemburukan ekspor oleh kebijakan nilai tukar yang sesuai dengan fundamentalnya. Selain itu, menyusutnya defisit neraca jasa dan meningkatnya surplus neraca pendpaatan sekunder turut memperbaiki kinerja transaksi berjalan.

Membaiknya kinerja transaksi berjalan ini didukung oleh meningkatnya surplus neraca perdagangan nonmigas dan menyusutnya defisit neraca perdagangan migas. Selain itu, berkurangnya tekanan defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi oleh meningkatnya surplus neraca pendapatan sekunder yang mengikuti pola musiman.



Kemudian pada 2015 secara total pada defisit transaksi berjalan tercatat US$ 17,76 miliar. Kemudian memasuki 2016 defisit transaksi berjalan tercatat US$ 16,3 miliar atau 1,8% dari PDB. Pada 2017 defisit neraca transaksi berjalan tercatat US$ 17,3 miliar atau 1,7% dari PDB.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, defisit neraca transaksi berjalan RI kuartal II 2018 berada dalam kondisi yang kurang baik. Hal tersebut menyebabkan Indonesia makin bergantung pada pembiayaan portofolio asing untuk mencukupi kebutuhan valas.

"Di sisi lain, dari awal 2018, dana asing yng keluar dari bursa saham mencapai Rp 56 triliun. Kondisi perfect storm atau tekanan hebat ini, bukan tidak mungkin makin menggerus cadangan devisa ke depannya," imbuh Bhima.

Menurut Bhima, solusi untuk menghadapi pelemahan kurs rupiah adalah menekan defisit neraca transaksi berjalan dengan pengendalian barang impor yang paling besar kontribusinya seperti baja, mesin, peralatan listrik dan plastik. Kemudian pemerintah bisa memulai dengan perluasan kenaikan bea masuk 10-25%.

Selanjutnya peningkatan produksi migas dalam negeri untuk menekan defisit migas. Lalu dari sisi moneter, BI bisa menaikkan suku bunga acuan lebih tinggi untuk mengantisipasi Fed Rate.

Bhima menambahkan, kurs preferensial yang dijamin BI untuk memulangkan devisa hasil ekspor bisa digunakan. Lalu pemerintah bisa menurunkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dari US$ 50 per ton menjadi US$ 20 per ton.

"Harapannya daya saing sawit di pasar internasional bisa naik," jelas dia.

(kil/eds)

Hide Ads