Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja juga mengatakan, pelaporan besaran upah yang tak sesuai justru merugikan para pekerja yang terdaftar dalam program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, semua manfaat program berbasis pada upah.
"Misalnya pada Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) terdapat santunan sebesar 48x upah dilaporkan jika mengalami kecelakaan kerja berdampak meninggal. Atau pada Jaminan Hari Tua (JHT) yang bersifat tabungan dengan hasil pengembangan di atas rata-rata deposito bank pemerintah, saldo JHT juga berdasarkan akumulasi iuran based on upah dilaporkan," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, maka santunan yang didapatkan pilot Lion Air tersebut jika dikalikan 48 jadi hanya sebesar Rp 177 juta. Nilai itu jauh lebih rendah dari santunan yang diberikan kepada co-pilot. Gaji co-pilot yang dilaporkan sendiri sebesar Rp 20 juta. Maka co-pilot akan mendapat santunan sebesar Rp 960 juta.
Dia juga menjelaskan, seharusnya upah yang dilaporkan oleh perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan berupa take home pay atau seluruh gaji rutin yang diterima oleh pegawai setiap bulannya.
"Upah yang dilaporkan seharusnya berupa take home pay, yaitu seluruh upah atau gaji yang diterima rutin dan tetap setiap bulannya, tidak termasuk tunjangan yang tidak bersifat tetap misal terkait absensi," ujarnya.
Oleh karenanya, BPJS Ketenagakerjaan juga mempersiapkan alat bagi para peserta untuk bisa mengecek apakah perusahaan telah melaporkan upah dengan benar, yakni lewat sebuah aplikasi yang dapat digunakan di smartphone.
"Melalui app tersebut peserta dapat mencek saldo JHT, upah yang dilaporkan sekaligus melaporkan jika terdapat ketidaksesuaian data. Yang bisa membantu kami memberikan informasi justru dari peserta, makanya kita berikan tools dalam bentuk aplikasi BPJSTKUupah," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto tak menampik bahwa selama ini memang sudah menjadi rahasia umum bila ada perusahaan yang memberikan laporan tak sesuai dengan gaji para pegawainya. Hal itu biasanya dilakukan karena perusahaan tak ingin membayar premi yang besar kepada BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu disayangkan karena nantinya nilai manfaat yang akan diterima oleh nasabah pun akan berkurang.
"Kami tengarai masih ada yang (memperkecil laporan) seperti itu. Misalnya gaji sebenarnya Rp 25 juta. Dilaporkan oleh perusahaan ke BPJSTK Rp 3,7 juta. Jika pekerja meninggal, maka manfaat (santunan) kematian yang dibayar oleh BPJSTK Rp 3,7 juta x 48. Sisanya perusahaan harus bertanggung jawab untuk membayar sebesar Rp 21,3 juta x48," tuturnya. (fdl/zlf)