Rupiah Paling Kuat di Asia, Ini Kata BI

Rupiah Paling Kuat di Asia, Ini Kata BI

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 02 Nov 2018 19:13 WIB
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Jakarta - Nilai tukar rupiah menguat cukup tinggi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan penguatan mata uang Garuda ini paling tinggi di Asia. Dari data RTI rupiah menguat 0,89% ke posisi Rp 14.959.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menjelaskan kondisi pasar keuangan global yang berlanjut kondusif dan pasar valuta asing domestik yang sangat aktif, menjadi penopang penguatan nilai tukar rupiah hari ini secara cukup signifikan.

Dia menambahkan selama dua dasawarsa terakhir pasar NDF (Non Delivery Forward) rupiah hanya berlangsung di pasar keuangan luar negeri, yang seringkali berpengaruh fluktuasinya pada pasar tunai (spot) di dalam negeri.

"Sekarang telah lahir pasar NDF di dalam negeri atau Domestik Non-Delivery Forward (DNDF), yang dalam dua hari terakhir mulai aktif ditransaksikan oleh 10 bank. Bila pada hari perdana volume transaksi DNDF mencapai US$ 60 juta, maka pada hari kedua mencapai US$ 90 juta," kata Nanang di gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat (2/11/2018).


Dia menyebut BI optimistis pasar DNDF ini akan terus berkembang karena akan menambah instrumen lindung nilai terhadap risiko fluktuasi kurs dengan biaya yang efisien tanpa penyerahan dalam mata uang dolar AS, tapi berupa selisih antara kurs DNDF dengan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang dibayarkan dalam rupiah.

Nanang mengatakan saat pasar valas antar bank yang cukup aktif, penguatan rupiah juga dipicu oleh berlanjutnya arus modal asing yang masuk ke pasar sekunder obligasi negara yang pada hari Jumat 2 November 2018 ini mencapai Rp 3,1 triliun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arus modal portofolio asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia sejak awal September 2018 sampai akhir Oktober 2018 mencapai Rp 21,1 triliun.


Ini terutama ditopang oleh sudah tingginya imbal hasil (yield) obligasi negara tenor 10 tahun yang sempat menyentuh 8,7%. Bila dikurangi tingkat inflasi yang mencapai 3,1% maka secara real, imbal hasil obligasi negara mencapai 5,6%, merupakan level tertinggi dalam skala negara emerging market setelah Brasil.

"Selain tingkat inflasi domestik yang rendah, optimisme pelaku pasar terhadap rencana negosiasi antara Presiden Trump dengan President Xi Jinping untuk menyelesaikan sengketa dagang pada pertemuan G-20 di Argentina bulan ini turut menjadi katalis yang mendorong kembalinya arus modal portofolio ke Indonesia," jelas dia. (kil/ara)

Hide Ads