Ismail mengungkap, terdapat perbedaan data yang dirilis antara metode sebelumnya yang menggunakan eyes estimate dengan KSA. Misalnya, luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta ha tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018. Kemudian, potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta ha, sementara proyeksi Kementan 15,5 juta ha. Begitu pun produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras sementara proyeksi Kementan 83,3 juta ha atau setara 48 juta ton.
"Dengan demikian, metode KSA pun, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018," paparnya dalam keterangan tertulis, Kamis (8/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kembali menegaskan, kalau data pangan yang sebelumnya dirilis Kementan berasal dari BPS. Meski begitu data yang diolah BPS tersebut hanya untuk kalangan internal, sembari menunggu hasil dari metode KSA.
"Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang data pangan satu pintu di BPS. Kementan tidak mengolah data pangan. Semua rilis data Kementan tentu berasal dari BPS. Metode BPS yakni eyes estimate kemudian mengolah dan merilis data pangan. Tetapi, sejak 2016 sampai kemarin BPS tetap mendata, mengolah, namun tidak merilis data pangan karena menunggu perbaikan data dengan KSA," paparnya.
"Data BPS metode eyes estimate itu lah yang dirilis Kementan dan disajikan di lamannya. Jadi data yang dimiliki dan ada di laman Kementan itu 100% adalah data bersumber BPS. Tapi BPS rilis untuk intern," sambung dia.
Sementara soal impor, ia menilai hal itu disebabkan oleh pengelolaan distribusi yang tidak merata, baik beras maupun jagung. (ega/hns)