"Proyeksi marko kita, INDEF tahun lalu 2018 pertumbuhan ekonomi kita 5,1% faktanya 5,2% belum tercapai. Kita proyeksikan 5% tahun 2019," kata Direktur Program INDEF Eko Listiyanto di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Dampak yang akan dirasakan negara berkembang berupa penurunan kinerja ekspor seperti bahan baku yang mulai dikurangi oleh China dan AS. Barang yang biasa dikiri China ke AS dan sebaliknya dikurangi karena terkena tarif yang lebih tinggi. Hasilnya, permintaan bahan baku yang dipasok Indonesia pun akan berkurang dan itu akan berdampak pada perekonomian nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengusaha tersebut sudah berhitung akan memindahkan pabriknya ke negara-negara berkembang di Asia karena tidak akan terkena perang tarif jika dikirim ke AS dan China.
Sedangkan untuk nilai tukar rupiah proyeksinya di level Rp 15.250 per dolar AS. Hal itu dikarenakan The Federal Reserve atau Bank Sentral AS masih menerapkan kebijakan normalisasi moneternya.
Selanjutnya untuk inflasi, INDEF memproyeksikan sama dengan APBN yaitu 3,5%.
"Inflasi tetap rendah tapi ada problem tada volatile food yang tren tahunan turun tapi volatile food dan administered price, itu tidak naik karena hanya mau Pilpres saja, kalau Pilpres selesai, bisa saja ada kejutan selesai pilres sesudah itu," jelas dia.
Eko menambahkan untuk harga minyak (ICP) diperkirakan US$ 75 per barel. Sedangkan untuk beberapa asumsi pembangunan ekonomi seperti pengangguran masih di level 5,3%. Untuk kemiskinan akan kembali ke double digit di 10%.
"Karena memang pertumbuhan ekonomi kita semakin kedap terhadap penyerapann tenaga kerja, kemiskinan," ujar dia. (hek/hns)