Larangan itu, kata Budi, dilakukan agar tidak ada komponen yang dikorbankan dalam pembentuk tarif taksi online, termasuk di dalamnya pendapatan sopir.
"Jadi gini, kan tarif itu sudah kita hitung dengan komponen-komponen yang harus dipenuhi oleh satu industri, yaitu ada komponen penyusutan artinya kalau dia rusak nanti mesti beli lagi, komponen bensin, komponen perawatan, bagian untuk sopir sudah dipas gitu lho. Ada komponen untung operator gitu lho," katanya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (28/12/2018).
Dia mengatakan, dengan adanya promo maka ada komponen yang dikorbankan salah satunya pendapatan sopir. Tak heran, hingga saat ini banyak sopir yang bekerja hingga 12 jam.
"Kalau sekarang ini mereka nggak cukup uangnya, mereka bekerja lebih lama, tadinya 8 jam sekarang 12 jam bahkan lebih dari itu," katanya.
"Berarti untuk mencukupi dirinya sendirinya nggak cukup tuh bagian dia, belum lagi perawatan yang lain, ganti ban nggak ada. Kalau diskon-diskon berkaitan dengan pendapatan pengemudi maka level of service dan safety akan turun," ungkapnya.
Oleh karena itu, Mantan Bos Angkasa Pura II ini meyakini pendapatan sopir berkurang karena adanya tarif promo. Hal itu juga terlihat dari kondisi kendaraan yang dipakai.
"Naturaly begitu, coba lihat taksi online waktu zaman pertama keluar kan lain, tidak dirawat, lebih dekil, pengemudinya juga lusuh-lusuh karena kerja lebih panjang. Saya lihat udah lah, dengan harga gitu aja, kalau mau kasih bonus itu korporasi yang kasih terserah, tapi jangan korbankan pengemudi," tutupnya. (hek/hek)