Menurut Sri Mulyani, kenaikan nilai impor sebesar 22% tersebut didorong oleh beberapa hal. Pertama adalah maraknya pembangunan infrastruktur dan manufaktur. Kemudian, impor pangan untuk keperluan stabilitas harga.
"Impor kita meningkat cukup besar. Impor ini terutama terdiri dari barang modal dan bahan baku yang terkait kegiatan di bidang infrastruktur, maupun manufaktur. Impor produk pangan dalam rangka stabilisasi harga untuk event seperti bulan Ramadan dan Lebaran," kata dia dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (2/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, tingginya konsumsi BBM sementara produksi dalam negeri kian minim menuntut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional lewat impor.
"Juga adanya impor migas yang meningkat dengan peningkatan harga minyak. Meskipun tiga bulan terakhir menurun sejalan dengan implementasi B20 dan harga minyak yang turun," sambung dia.
Dari peningkatan nilai sebesar 22%, tercatat impor di tahun 2018 ada sebesar US$ 173,3 miliar. Akibatnya, neraca pembayaran juga ikut berdampak mengalami defisit hingga US$ 7,5 miliar dan defisit migas sebesar US$ 12.1 miliar.
Walaupun begitu, ia juga menyoroti pertumbuhan untuk kegiatan ekspor yang tumbuh sebanyak 7,7% dibandingkan dengan kumulatif Januari-November 2017. Pertumbuhan itu membuat nilai ekspor sampai dengan November 2018 tercatat US$ 165,8 miliar.
"Nilai ekspor-impor mencapai US$ 165 miliar dan US$ 173,3 miliar atau dalam hal ini ekspor tumbuh 7,7% dan impor 22,2%. Ini menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit US$ 7,5 miliar dan defisit migas US$ 12,1 miliar," tutup dia. (dna/dna)











































