Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan saat ini ketidakstabilan politik di AS menjadi perhatian para pelaku pasar. Kemudian konflik antara Partai Demokrat dan Partai Republik semakin rumit. Penutupan pemerintahan akan berdampak jangka panjang, karena di era kepemimpinan Donald Trump sudah beberapa kali terjadi.
Lalu perlambatan ekonomi dunia khususnya dimotori oleh AS dan China menyebabkan investor global menghindari masuk ke negara berkembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dolar AS Menguat Tipis ke Rp 14.480 |
Kemudian, tahun 2019 di Eropa juga masih panas. Ada Brexit, masalah fiskal di Italia dan isu terorisme punya dampak ke arus modal masuk perusahaan Eropa ke Indonesia jadi menurun.
Padahal investasi langsung dibutuhkan Indonesia untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Tahun 2019 ini diperkirakan nilai tukar di kisaran Rp 15.000 per dolar AS.
"Angka ini adalah titik keseimbangan baru yang bertahan untuk waktu yang lama. BI tidak akan membiarkan dolar AS tembus di Rp 15.000, karena cadangan devisa masih cukup untuk intervensi kurs," imbuh dia.
Per November 2018 cadangan devisa tercatat masih di angka US$ 117 miliar. Kemudian pemerintah pada tahun ini diperkirakan akan mendorong masuknya likuiditas valas melalui penerbitan global bond.
Mengutip Reuters hari ini (3/1) dolar AS tercatat Rp 14.480, sempat menyentuh posisi terendah Rp 14.440 dan tertinggi Rp 14.485.
Kemudian dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) dolar AS tercatat Rp 14.474. Lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.465. (kil/ara)