Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menilai, penguatan rupiah disebabkan sinyal yang disampaikan Bank Sentral AS, The Fed yang akan lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga acuannya tahun ini. Sehingga dolar AS cenderung ditinggalkan oleh para investor.
Sementara dari dalam negeri belum ada yang signifikan untuk menopang penguatan rupiah. Pemerintah masih fokus menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur, sehingga kebutuhan impor bahan baku masih besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: The Fed Melunak Bikin Rupiah Perkasa |
Meski begitu menurut Frederik, bisa saja penguatan rupiah berlanjut hingga ke level Rp 13.000-an. Namun jika itu terjadi, dia yakin level itu tidak bertahan lama.
Sebab menurutnya faktor eksternal masih banyak menghantui di 2019 ini. Salah satunya kebijakan dari bank sentral Eropa (ECB) yang bisa saja ikut mempengaruhi kondisi moneter global.
"Di saat itu bisa saja ada perubahan kebijakan ECB yang mempengaruhi kondisi moneter global," tambahnya.
Selain itu, tambah Frederik, pada akhir tahun nanti AS akan ada persiapan pemilu untuk tahun 2020. Kondisi itu akan mendorong ketidakpastian global yang lebih besar.
"Hal-hal itu yang akan memberikan volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah. Jadi bisa saja ekstrim sampai ke Rp 13.000 tapi tidak bisa sustain jangka panjang dan juga sebaliknya," tutupnya. (das/ara)