Sebut saja, dalam pidatonya di Ceramah Kebangsaan Air Tahun di Hambalang Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/12/2018). Dia mengatakan, di Ibukota khusus wilayah Tanjung Priok warga tidak mendapat air bersih. Jika dibiarkan, maka Indonesia akan krisis air.
"Untuk itu, kita kalau tidak hati-hati, sebentar lagi Indonesia akan krisis air, untuk itu kita antipasi," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang ada peringatan dari PBB bahwa tahun 2025 air Pantai Utara Jakarta akan masuk ke Bundaran HI. Berapa puluh orang nanti akan kehilangan rumahnya. Tahun 2025 itu tidak jauh dari sekarang," sambungnya.
Lalu, benarkah pernyataan Prabowo? Untuk menjawabnya, detikFinance mewawancarai Menteri Perancanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro di kantornya, Jumat (11/1/2019). Berikut petikan wawancara:
Ya mungkin, sebetulnya tidak seluruh Indonesia. Masalah air bersih yang harus diberikan perhatian khusus adalah Pulau Jawa. Satu, karena penduduknya besar, kepadatannya tinggi, kegiatan ekonomi juga tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil 5-6% di Jawa ya otomatis, pendirian bangunan segala macam, kegiatan aktivitas ekonomi makin besar, jadi otomatis permintaan air bersih tinggi.
Padahal, di sisi lain sumbernya makin terbatas, karena ya kita harus akui dalam waktu yang lama air bersih kurang mendapat perhatian. Sehingga, masyarkat di kota besar terutama bergantung tidak berasal dari air bersih yang berasal dari pipa, tapi sumur.
Padahal sumur itulah yang nanti berpengaruh pada salah satunya penurunan muka tanah, penurunan muka tanah itu yang nanti bisa membuat banjir rob terjadi terutama pantai utara Pulau Jawa. Jadi, fokus adalah di Pulau Jawa dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang kita susun untuk 2020-2024 kita memberi perhatian khusus pada penguatan pasokan, distribusi, air bersih di Pulau Jawa.
Kalau pulau-pulau lain, selain pemakaiannya belum terlalu tinggi, sumber airnya masih banyak, yang masih harus perlu diperkuat, distribusinya. Kalau Pulau Jawa isunya tidak hanya distribusi tapi sumbernya.
Gambaran pemenuhan air bersih saat ini seperti apa?
Ya, karena ngomongnya Indonesia, air bersih Indonesia, proyeksi kita kebutuhan air baku di 2024 kebutuhan domestik rumah tangga itu 582,5 m3 per detik, industrinya 79,79 m3 jadi kalau dijumlah 660 m3 lah per detik.
Yang ada, distribusi yang ada dari pipa PDAM hanya 143 m3 per detik, padahal kebutuhan 660 m3. Ini Indonesia kita ngomong ya, memang yang paling besar Jawa, jadi ini mewakili Jawa pada intinya.
Tapi kita memahami, bahwa tidak mungkin, paling tidak dalam kondisi 5 tahun ke depan seluruh air bersih itu datang dari PDAM. Jadi kita target baurannya 35% dari PDAM, sumur bor 30%, kemudian karena isunya juga air minum, air minum kemasan 20%, sumber lainnya mata air, air sungai, air hujan 15%.
Katakan PDAM 35%, maka otomatis dalam 5 tahun kapasitas PDAM harus ditambah 90 m3, PDAM saja 35% kali 660 sekitar 200 m3. Padahal kita punya 143 tambah 90 m3.
Kondisi pemenuhan air saat ini?
Sekarang jauh, sekarang ini porsi PDAM jauh daripada ideal. Karena orang masih pakai sumur. Di Jakarta aja deh, orang pakai sumur. PDAM hanya pelengkap aja. Itu yang membuat berbahaya untuk Jakartanya sendiri.
Intinya masih dibutuhkan investasi yang besar untuk sumber air bersihnya dan distribusinya. Sekarang maupun 5 tahun ke depan. Cuma kan nggak bisa bicara tahun ini aja.
Kenapa air tanah?
Karena nggak tersedia, ya sekarang kamu punya rumah, kamu perlu air, kalau nggak ada pipa PDAM kamu apa, ya terpaksa gali sumur dan itu yang masif di Jakarta, agak sulit mengendalikan karena PDAM-nya selain debit nggak cukup, distribusi belum rata.
Kalau lihat peta Jakarta, Jakarta bagian barat banyak yang belum ada sambungan pipa air minum, otomatis ambil dari sumur. Jadi makai sumur nggak ada PDAMnya.
Jakarta kan hanya tergantung Jatiluhur, di luar Jatilihur yang harus dicari lagi, saat ini dibangun Waduk Karian.
Tahapan pemenuhan air sendiri bagaimana?
Memperbanyak SPAM, kemudian PDAM harus investasi untuk distribusinya pipanya sehingga setiap rumah terkoneksi dengan saluran air, dan air yang didistribusikan dengan ke rumah-rumah harus pada jumlah dan kualitas yang memadai, kalau sekarang banyak kejadian kita langganan, tapi airnya keluar sedikit, jadi orang terpaksa pakai sumur lagi. Intinya harus memastikan anggaran SPAM dan distribusi PDAM.
Untuk SPAM harus mencari sumber airnya, ini yang untuk beberapa wilayah di Jawa makin sulit. Belum lagi kalau ke Pulau Jawa, kan sumber utama sungai, sungai di Jawa sudah banyak yang tercemar, seperti Citarum, padahal Jakarta tergantung Citarum, karena Jatiluhur kan sungai Citarum.
Dengan sungai yang harus dibereskan karena tercemar kan mengurangi potensi sumber air. Kalau mau bikin waduk besar, Jatiluhur, Cirata bisa nggak nemuin lahan yang besar di Pulau Jawa kalau pun ada mahal sekali kan pembebasannya.
Jatiluhur mau ditingkatkan, pemerintah sedang mengembangkan SPAM Jatiluhur yang baru, Waduk Karian juga, tapi masih melihat ke depannya dalam jangka pendek barang kali bisa memenuhi kebutuhan, tapi jangka menengah panjang ya kita harus berpikir lagi darimana sumber air bersihnya. Kalau Surabaya SPAM Umbulan. Ada di Semarang Barat, Bandar Lampung, hampir semua kota besar bangun SPAM, tapi saya ngomong SPAM yang besar-besar aja.
Dampaknya bagaimana?
Yang sudah kita lakukan, masalahnya gini air bersih nggak 100% kewenangan pusat, justru lebih banyak di daerah. Urusan air bersih itu urusan daerah, pemerintah pusat kalau lintas kabupaten kayak Jatiluhur Jawa Barat pengguna besar Jakarta ditangani Kementerian PU.
Jadi yang sudah dilakukan pemulihan daerah aliran sungai, dipastikan sungainya berkurang pencemarannya, mengoptimalkan bendungan eksisting 24, kemudian selama 2015-2019 dibangun 65 bendungan baru kan sumber air, 18 sudah selesai sampai 2018. 29 lagi selesai 2019. Ini seluruh Indonesia tapi sebagian besar ada di Jawa.
Kita memanfaatkan idle capacity dari instalasi pengelolaan air, ini nambah 36 m3 per detik, terus penyehatan pengelolaan infrastruktur sistem pengadaan air, rain water harvesting, sama SPAM tadi. Ada di Umbulan Jatim, Jatiluhur, Karian Tangerang, Jatigede Jawa Barat, Semarang Barat ini yang dibangun 5 tahun.
Kalau kamu perhatiin fokus menjaga sumber airnya, sungainya harus diperbaiki makanya ada Citarum Harum, kenapa, karena pencemarannya begitu berat, padahal dia sumber air untuk Jawa Barat dan Jakarta. Setelah sungai diperbaiki berikutnya bikin SPAM-nya, supaya airnya bisa tersalurkan dengan baik. PDAM-nya harus mau investasi, PDAM itu tanggung jawab daerah. Jangan lupa, dia harus mau investasi ke rumah tangga, ketika mau perencanaan kota, wilayah jangan sampai pengembang bikin rumah tapi nggak disiapkan PDAM-nya.
Artinya kalau daerah nggak siap sama aja?
Ini kan tanggung jawab daerah, setelah otonomi daerah, air bersih tanggung jawab daerah, termasuk tarifnya, penyediaan PDAM-nya pipanya, termasuk daerah mengendalikan pemakaian sumur. Kalau sumur nggak dikendalikan terutama Jawa bagian utara, sudah penurunan tanah makin parah, rob makin parah.
Koordinasi pusat dan daerah bagaimana?
Ada yang proyek pusat, ada proyek daerah, bagi tugas aja, SPAM-SPAM itu rata-rata pemerintah pusat karena sumber beberapa daerah, kalau pipa PDAM ya DKI dong misalnya, yang harus mau invest, distribusi air DKI, penanganan daerah aliran sungai itu bisa pusat. Tapi ada bagian Pemda harus ikut.
Kondisi kebutuhan air sekarang?
500-an m3, sekarang bauran 15% itu kan nggak ideal masa pipa cuma 15%, makanya mau kita arahkan 35%, itu pun belum ideal karena masih nangani 20% air kemasan. Kalau negara maju mana ada, sumber air, air kemasan mana ada, justru mereka sudah bisa menyediakan air langsung minum dari keran. Kondisinya jauh dari ideal.
Dan kalau mau dipolitisasi itu sudah terjadi sejak lama, itu kan akumulasi permasalahan lama. Sekarang itu sudah melakukan yang kita sampaikan tadi, bangun SPAM, bendungan, terus membersihkan sungai-sungai sumber mata air.
2024 pun baru PDAM 35% naik dari 15% saat ini jadi 35%, dan itu harus 90 m3 per detik tambahnya, dan itu nggak gampang, bukan pipanya, instalasinya, sumbernya terutama pulau Jawa. Idealnya 100% dong mestinya, masa orang nyari air tanah sudah nggak benar, kalau idealnya, cuma kan kita bicara yang masih mungkin.
Kalau dibilang ada krisis air bersih sudah terjadi sejak lama, sebenarnya, cuma kita tidak pernah menyadari karena seolah mendapat akses air bersih dengan mudah dari sumur.
Yang kita lupa pemakaian sumur berlebihan berbahaya terhadap lingkungan, penurunan muka tanah rob. Kalau yang boleh saya ingat, tahun 70-80 saya nggak pernah dengar rob tuh di Jakarta. Sekarang sudah kejadian, kenapa Jakartanya sudah semakin miring berarti.
Karena gedung-gedung makin tinggi, rumah makin banyak, ya pasti sumur makin banyak. Padahal, laju pertambahan debit air tidak seiring laju pertumbuhan pembangunan.
Kalau mau daerah harus enforcement, mungkin gini, menerapkan pajak tinggi sudah tidak efektif yang harus dilakukan sekarang pembatasan. Tapi kalaupun pembatasan belum bisa karena supply dari pipa masih kurang, paling tidak pajak air bawah tanah diperkuat, dibuat tinggi supaya orang mikir sembarang ambil air dari sumur. Tapi ingat, tugas Pemda menyediakan air bersih, tapi ingat nggak bagus juga orang-orang itu terpaksa mencari air bersih.
Kalau mau mulai dari bangunan komersial, jangan sampai mereka semakin tinggi bangunannya, semakin dalam sumurnya, itu kalau memang masih tidak sanggup menyediakan kenai pajak yang besar, dari pajak yang besar mudah-mudahan ada uang untuk memperkuat jaringan pipa PDAM.
Bagaimana mengejar 2024 agar tidak sampai ke HI?
Bauran PDAM 15%, sumur 40%, jadi yang kita lakukan 5 tahun lagi cuma membalik dulu, jangan sumur yang besar tapi PDAM, itu arah yang benar. Air kemasan masih sama 20%, lain-lainnya masih besar. Intinya 5 tahun ke depan kita harus bisa membalikan sumber air terbesar itu PDAM.
Investasinya?
Rp 200 triliun kira-kira minimal 5 tahun ya, per tahun Rp 40 triliun setahun, dan itu harus di-share pusat dan daerah. Karena kita tidak pernah, ini akumulasi proses lama nggak peduli sumber air, karena kemudahan menggali sumur.
Berlanjut ke air laut sampai Bundaran HI dan penurunan muka tanah, itu bagaimana?
Kalau ngomong Jakarta saat ini rata-rata penurunan muka tanah sekitar 7,5 cm per tahun, 3-18 cm karena tidak merata. Bayangin 18 cm, paling gawat Pluit. Rata-ratanya 7,5 per tahun cm. Nah, kalau terus-terusan didiamkan makin banyak robnya, dan robnya masuk dan makin dalam kalau penurunannya makin parah.
Dan ini sudah terjadi sejak 1975, jangan dbilang penurunan baru terjadi sekarang. Dan tahun 2050, 35% wilayah Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut, ketinggiannya. Tapi jangan kamu bayangin dulu langsung tenggelam, karena Belanda, itu sebagian besar wilayah di bawah permukaan laut, tapi dia bikin sistem tanggul, sehingga dia bisa menjaga supaya daerah itu tidak kemasukan air laut. Bahkan bandara Belanda di bawah permukaan laut.
Kalau bicara Jakarta sebagai kena rob, sudah meluas ke Tangerang, Banten, Bekasi. Bahkan penurunan muka tanah terjadi ke Jakarta Selatan. Kebetulan jauh dari laut, tapi penurunan terjadi, karena kalau dia gali sumur turun. Tapi yang bahaya utara ini karena langsung kena rob.
Sebabnya apa gara-gara pengambilan air tanah saja?
Enggak, pertama ada yang alami juga, tadi saya katakan, tanah Jakarta itu tanah aluvial, endapan lunak, dan Jawa bagian utara secara alimiah mengalami land subsidence.
Kedua, ada unsur juga kenaikan permukaan air laut. Yang satu dua nggak bisa apa-apain itu gejala alam. Jadi yang bisa kita kendalikan penggalian air tanah itu.
Belum lagi, ada permukaan tanah akibat beban bangunan kan bangunan makin high rise dan urukan. Macam-macam, kalau uruk bangunan bisa dijaga, tapi yang kritikal air bersih. Makanya nggk bisa solusinya nggak bisa larang orang air sumur, tapi yang paling benar adalah pemerintah masuk dengan investasi di SPAM.
Jadi pemerintah investasi dengan perbaikan sumber daya air, sungai, danau dan lainnya. Kedua, bikin SPAM-nya Jatiluhur Karian. Ketiga perluas jaringan distribusi pipanya. Kalau ada pengembang, misal bikin komplek perumahan harus dipastikan setiap petak yang dibangun harus ada akses PDAM-nya.
Kalau pencegahan bagaimana?
Yang pasti, dari hulunya dulu, karena ada kejadian yang rob, air sungai dari atas ke luar ke laut, ada kejadian nggak air sungai nggak bisa kebuang ke laut malah ke pantai. Hulunya mesti diperbaiki. Penanganan daerah sungai harus terintegrasi penanganan rob. Kedua baru tanggul, tanggul pantai, yang darurat 20,1 km dan sekarang baru selesai baru yang PU baru 5 km.
Menurut saya Pemda DKI harus serius, karena saya ingat waktu Pak Sandi di Kalibaru itu banyak hambatan DKI, ada dua, DKI sama swasta. Kan ada swasta yang punya garis pantai, mereka harus membangun tapi menunggu payung hukum. Artinya DKI untuk urusan sendiri, dan urusan swasta harus cepat membangun tanggul pantai, untuk pertahanan pertama dan itu sifatnya darurat.
Karena begini, kalau penurunan muka tanah nggak bisa dikendalikan, penurunan muka tanah akan terjadi, cuma pertanyaannya cepat atau tidak. Yang bisa dilakukan bukan menahan tapi memperlambat. Kalau belum bisa memperlambat, karena pemakaian air tanah masih banyak masih cepet turunnya, tanggul itu dibangun di atas tanah pantai, kalau dasarnya turun, tanggulnya turun. Jadinya harus ada penanganan serius soal pemakaian air tanah ini. Jadi 5 tahun depan DKI harus serius menambah sumber air dan mengubah baurannya menjadi PDAM tidak lagi sumur.
Tanggul pantai 20 km, yang pusat berapa?
Pusat 4,7 km sisanya DKI dan swasta.
Keterlibatan swasta pakai payung hukum apa?
Kan kewajiban mereka terhadap DKI, sebenernya untuk keperluan mereka juga, apa mau swasta ikut kebanjiran tiap tahun, tapi untuk dasar mereka bikin butuh payung hukum, waktu itu ya, tapi saya nggak tahu perkembangan yang swasta.
Payung hukum apa?
Kalau bikin gedung, kan ada izin mendirikan bangunan segala macam dan kewajiban ke pemerintah daerah. Pemda harus lebih untuk memastikan tanggul pantainya selesai tepat waktu atau secepatnya deh.
Tanggul itu bisa menahan penurunan muka tanah?
Itu nggak menahan, nggak mungkin menahan penurunan muka tanah, untuk memperlambat penanganan sumur bor, tanggul itu mencegah banjir rob. Karena kan tanah turun, air masuk, harus ada tanggul.
Penanganan selain itu apa?
Kita mau lihat yang darurat ini gimana, bertahan berapa lama, jangka menengah diperpanjang tidak hanya 20 km, dan beberapa yang harus ditinggikan. Tapi nggak bisa terus-terusan menambah aja, sifatnya temporary terus, jadi satu pemikiran tanggul laut.
Kenapa diusulkan, itu kan tanah di laut, dan laut itu nggak ikut turun, yang turun permukaan tanah ini kan dasar laut, ini lebih permanen sifatnya. Cuma masalahnya biayanya, tapi ada aktivitas lain. Dengan bangun tanggul laut, maka bisa dibuat sumber air bersih baru, nanti yang di dalam diubah jadi air tawar. Recycle dari sungai yang mau keluar itu dibersihkan dulu, dimasukan ke waduk yang terbentuk karena ada tanggul tadi.
Kajian tanggul itu bagaimana?
Ya secara garis besar sudah ada kajiannya, kita masih konseptual desain. Ya kita juga ingin duduk bersama dengan Pemda DKI, karena ini sebenarnya yang paling berkepentingan DKI. Sekarang mungkin mereka masih berpikir tanggul dipantai cukup, nanti kita lihat lah seberapa kuat tanggul pantai itu dan seberapa bisa mengatasi pemakaian sumur bor di kota. Melihatnya harus terintegrasi jangan sepotong-potong.
Kapan rencananya dibangun?
Kita kalau mau bangun belum tahu kapan, tapi kan bicara konseptual desain dulu. Kita harus sepakat dulu dengan DKI gimana caranya supaya air bersih terpenuhi, Jakarta bagian utara tidak kena rob, itu aja kita simpel aja mikirnya. Dan jangan mikir hanya untuk 5 tahun jangka pendek, jangka menengah.
Harus mikir jangka pendek, kenapa saya katakan Belanda, itu sudah jaman kapan di bawah permukaan laut, memang pernah kejadian bocor tapi most of the time mereka bisa hidup dengan tenang negara maju, karena bagus sistem tanggulnya, mereka berpikir jauh sekali ke depan, dan itu tanggul laut di Belanda.
Itu konsep tembok atau gimana?
Yang penting temboknya, tapi kan tembok bisa tergantung temboknya, kalau temboknya tebal, yang pasti selain kuat yang kedua di atasnya bisa ada kegiatan apakah jalan, pipa gas, segala macam bahkan kalau lebih lebar lagi kegiatan komersial.
Kenapa diperlukan, karena bangun tanggul laut mahal. Kalau hanya andalkan anggaran pemerintah berat sekali. Padahal kan tugas pemerintah menjaga rakyatnya supaya nggak kena rob, salah satu cara berpikir yang inovatif adalah bagaimana sebagian biayanya itu berasal dari kegiatan yang dicreat dari tanggul tersebut.
Berapa km ?
Kan belum final konseptual desain, yang pasti harus ada ruang pintu pelabuhan Tanjung Priok dan perikanan.
Itu investasi berapa?
Kita lihat dulu desainya mau kaya apa, yang pasti di atas Rp 100 triliun.
Bukannya sudah desainnya?
Itu kan usulan, usulan Belanda, usulan Korea. Kita cari mana yang terbaik. Yang pertama mau dapat kepastian DKI apa kebutuhannya.
Jadi kalau DKI belum dibangun?
Itu kosekuensinya yang berat, dan kosekuensinya jangan lihat hari ini kosekuensinya nanti, yang kamu bilang, Pak Prabowo bilang 2025.