"Begini, kalau kebijakan energi nasional yang dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), PLTN itu adalah pilihan yang terakhir. Jadi itu (Prioritas pembangunan PLTN) harus diubah dulu kalau mau ini (PLTN) segera," ujar Jonan saat ditemui di depan Gedung Pusat UGM, Bulaksumur, Sleman, Jumat (18/1/2019).
Baca juga: Cadangan Energi Nuklir di RI Belum Terbukti |
Lantas, bisakah PLTN masuk prioritas utama pengembangan energi di Indonesia? Menurut Jonan pemerintah belum memikirkan hal tersebut mengingat saat ini fokus mengembangkan energi baru terbarukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diberitakan detikFinance sebelumnya, opsi nuklir sebagai pilihan terakhir dalam Kebijakan Energi Nasional, diterjemahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) meliputi beberapa langkah.
Baca juga: Mungkinkah PLTN Dibangun di RI? |
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, harga jual listrik dari PLTN di atas dari Biaya Pokok Produksi (BPP) tenaga listrik nasionaldi kisaran US$ 7,39 sen per kWh. Harga listrik dari PLTN diperkirakan berharga US$ 9,7 sen-13,6 sen per kWh.
"Berapa harga jual listrik PLTN ini rangenya berdasarkan data tadi ditampilkan di seluruh dunia kisaran US$ 9,7 sen sampai US$ 13,6 sen per kWh. BPP nasional kita US$ 7,39 sen per kWh. Kalau lihat history-nya maka nuklir PLTN akan di atas BPP nasional dan ini juga menjadi concern kita semua dari sisi komersialnya," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jumat (3/11/2017) lalu.
Arcandra menambahkan, pembangunan PLTN di Indonesia agak sulit dilakukan lantaran masyarakat masih sulit untuk menerima pemanfaatan teknologi nuklir sebagai bahan bakar listrik. Terlebih lagi, harga jual listrik dari PLTN terbilang di atas dari BPP nasional.
"Posisi kita di kementerian kalau secara komersial lebih murah dari sumber energi lain, ada pintu PLTN dibangun di Indonesia," kata Arcandra. (hns/hns)