Jika proyeksi tersebut diturunkan, kira-kira apa dampak ke negara berkembang seperti Indonesia?
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menjelaskan hal tersebut akan berdampak pada pemulihan harga komoditas ekspor Indonesia. Ini akan menyebabkan ekspor berjalan lambat karena penurunan permintaan global. Misalnya sawit dan karet masih rendah pada 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan saat ini yang menjadi perhatian penting adalah pada current account deficit (CAD) yang diprediksi masih melebar. Nah, karena proyeksi pemangkasan dikhawatirkan turut mempengaruhi permintaan ekspor, maka ini akan berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
"Outlook pertumbuhan Ekonomi Indonesia sendiri tahun ini cenderung menurun. Inilah yang perlu diwaspadai karena bisa berdampak pada naiknya pengangguran dan angka kemiskinan," imbuh dia.
Menurut Bhima, saat ini kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5-5,1% atau berada di bawah target 5,3% di catatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2019.
Sementara itu di sektor keuangan masih ada ketidakpastian Brexit, perang dagang yang belum selesai, instabilitas politik AS membuat investor cenderung melakukan flight to quality atau mencari aset yang dianggap aman. Ya, salah satunya aset dolar AS dan surat utang AS.
Dia menyampaikan ini tercermin dalam 6 bulan terakhir. Dollar index naik 1,88% dan berada di level 93,6.
"Capital inflow yang sebelumnya membanjiri negara berkembang bisa tiba tiba berbalik arah atau menciptakan capital reversal. Risikonya kurs rupiah bisa kembali melemah," jelas Bhima.