"Sekarang sekitar 26% total ya, ada yang tak sesuai upah, ada yang tak sesuai tenaga kerja, ada yang tak sesuai programnya. Kalau dibilang masih banyak, 30% banyak tidak sih? 25% banyak tidak sih? Tapi itu masih ada," kata Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, Ilyas Lubis di Nusa Dua, Bali, Selasa (22/1/2019).
"Makanya program kita tahun ini lebih bagaimana pertahankan peserta, termasuk memperbaiki yang daftar sebagian, baik itu upah, bagian tenaga kerjanya, maupun programnya. Tahun ini lebih didorong sustainability dan kualitasnya," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pihaknya bisa melakukan memberikan sanksi administratif. Jika perusahaan tetap melanggar dengan memanipulasi gaji karyawan, sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), perusahaan yang memanipulasi data bisa diberikan sanksi dari otoritas.
"Sanksinya sudah jelas, kalau di badan penyelenggara seperti kita diberikan kewenangan menjalankan sanksi administratif. Kita diberi wewenang untuk memeriksa, kalau ada rangkaian ketidakpatuhan kita bisa laporkan ke otoritas untuk dihentikan pelayanan publik. Sampai batas melaporkan, kalau melanggar juga UU BPJS kan ada sanksi pidana," ungkapnya.
Ilyas menyebut, masih banyak perusahaan yang menganggap iuran premi BPJS Ketenagakerjaan sebagai beban. Padahal, kepesertaan menjamin pekerja saat terjadi kecelakaan kerja dan menerima manfaat saat pensiun nanti.
"Motifnya biasanya menghemat biaya, kan diikutkan itu anggapnya beban. Iuran BPJS itu sebagai beban. Padahal bukan beban tapi investasi. Kayak (penembakan pekerja konstruksi) di Papua itu iurannya kan tak besar, tapi kalau meninggal, dengan gaji Rp 5 juta saja, itu ahli waris dapat 48 kali gaji plus uang kubur dan segala macam," tandas Ilyas.