Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia sejatinya telah melakukan utang sejak era presiden pertama, sehingga penyebutan menteri keuangan pencetak utang dianggap terlalu berlebihan.
"Sejak zaman Soekarno, sebenarnya kita sudah punya utang tapi dalam bentuk pinjaman dengan negara mitra. Era Pak Harto, menteri keuangannya juga punya utang. Jadi saya kira nggak fair juga. Itu kritik yang terlalu personal, terlalu berlebihan untuk bilang Menteri Keuangan sebagai menteri pencetak utang," katanya saat ditemui di acara Forum Tebet di bilangan Jakarta Selatan, Senin (28/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kritik mengenai utang lebih tepat ditujukan pada penempatan fungsi utang yang sudah dilakukan. Dia bilang, utang yang ditarik pemerintah seharusnya bisa memacu produktivitas ekonomi dalam negeri.
"Kalau kita lihat kritik yang lebih pas lonjakan utang di era Ibu Sri Mulyani tidak produktif atau belum produktif ke pertumbuhan ekonomi atau ekspor. Jadi kritiknya lebih ke manajemen utangnya," kata Bhima.
"Utang sah-sah saja. Selama APBN kita defisit, maka selama itu juga kita menutup defisit dengan pembiayaan utang. Saya kira Pak Prabowo mengkritik menteri keuangan sejak era Sukarno," tambahnya.
Adapun jumlah utang pemerintah selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) dari 2014-2018 tercatat sudah bertambah Rp 1.809,6 triliun. Total utang pemerintah per Desember 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun, sedangkan pada akhir 2014 sebesar Rp 2.608,7 triliun.
Jumlah utang itu sama dengan 29,98% dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Berdasarkan UU, batas aman utang yang diperbolehkan ditetapkan 60% dari PDB. (eds/ara)