Target Pertumbuhan Ekonomi 7% Meleset Lagi

Target Pertumbuhan Ekonomi 7% Meleset Lagi

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Kamis, 07 Feb 2019 06:50 WIB
1.

Target Pertumbuhan Ekonomi 7% Meleset Lagi

Target Pertumbuhan Ekonomi 7% Meleset Lagi
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -
Ekonomi Indonesia di 2018 tercatat tumbuh 5,17%. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan periode 2017 sebesar 5,07%.

Presiden Joko Widodo pada saat kampanye 2014 lalu sempat menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh di kisaran 7%. Namun, target tersebut meleset. Penyebabnya disebut karena adanya faktor-faktor yang tidak terduga mulai dari internal dan eksternal.

Capaian pertumbuhan ekonomi ini ditanggapi sejumlah pihak dengan positif dan negatif. Apa saja penyebab melesetnya pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 ini?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut berita selengkapnya:
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2018 sebesar 5,17%. Angka tersebut lebih rendah dari target 5,4% di APBN.

"Dengan pertumbuhan ekonomi 5,18% di triwulan IV-2018 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 5,17%," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Rabu (6/2/2019).

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut dipengaruhi berbagai hal, antara lain harga komoditas yang mengalami penurunan. Selain itu, tren pelemahan ekonomi dunia juga ikut mempengaruhi Indonesia.

"Perekonomian global di triwulan IV-2018 melambat. Perlambatan yang ini nanti akan terbawa kepada situasi perekonomian 2019," ujar Suhariyanto.

Suhariyanto menyebutkan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan meski ada faktor eksternal yang mempengaruhi.

"Di tengah harga komoditas dan ekonomi global yang tidak pasti ini adalah capaian yang menggembirakan," tutur Suhariyanto.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan harga komoditas ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Harga komoditas non migas mengalami penurunan baik secara kuartalan (qtoq) atau tahunan (year on year/yoy). Harga komoditas yang mengalami penurunan, antara lain minyak kelapa, kelapa sawit dan ikan.

"Harga komoditas non migas turun qtoq atau yoy. Penurunan terjadi pada komoditas pangan dari kuartal III ke kuartal IV seperti minyak kelapa, kelapa sawit dan ikan," kata Kepala BPS Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Rabu (6/2/2019).

Selain itu, harga komoditas migas juga mengalami penurunan secara kuartalan seperti harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$ 65,12 per barel di kuartal IV dari sebelumnya US$ 71,64 per barel di kuartal III.

Tren pelemahan ekonomi global juga ikut mempengaruhi angka pertumbuhan. Negara mitra dagang Indonesia yang besar seperti China dan Amerika Serikat (AS) tumbuh stagnan dan cenderung melambat.

Ekonomi China melambat di kuartal IV-2018 sebesar 6,4% dari kuartal sebelumnya 6,5% dan AS stagnan di 3%.

"Saya angkat Tiongkok karena ekspor kita ke China besar yaitu 14,5%," ujar Suhariyanto.


Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN sekaligus anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dradjad Wibowo menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata periode 2015-2018 hanya sekitar 5%.

Dia menjelaskan padahal Presiden Jokowi menjanjikan pertumbuhan 7% per tahun dan ini terlalu muluk. Sehingga wajar jika janji tersebut ditagih, baik oleh pesaing politik maupun oleh pelaku usaha.

"Saya tidak tahu siapa yang memberi masukkan, jelas terlalu muluk (pertumbuhan ekonomi). Target 6% sebenarnya lebih realistis, jika bauran kebijakannya benar," kata Dradjad saat dihubungi detikFinance, Rabu (6/2/2019).

Kemudian, landainya pertumbuhan ekonomi ini terjadi saat proyek infrastruktur digenjot besar-besaran. Dia membandingkan dengan Amerika Serikat (AS) saat terjadi The Great Depression.

Menurut dia AS keluar dari GD melalui pembangunan infrastruktur besar-besaran khususnya moda kereta api. Dia menjelaskan belanja infrastruktur menjadi sebuah stimulus, efek multiplier PDB dan penyediaan lapangan kerjanya besar.

"Di Indonesia selama periode pak Jokowi, belanja infrastruktur malah gagal jadi stimulus Keynesian. Efek multiplier PDB dan lapangan kerja relatif kurang terasa. Berarti ada yang salah dengan belanja infrastruktur pemerintah," ujar Drajad.

Dia menambahkan, pemerintahan Presiden Jokowi disebut sering menyalahkan faktor eksternal ketika ekonomi tidak sesuai dari harapan dan target. Namun ketika faktor eksternalnya menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri.

"Yang jelas, pertumbuhan stagnan ini banyak disumbangkan oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang juga stagnan. Itu hemat saya penyebab utama lambatnya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain belanja atau pengeluaran pemerintah melalui proyek infrastruktur gagal menjadi stimulus Keynesian," jelas dia.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sempat ditanya capaian tersebut masih di bawah angka 7%, seperti yang dijanjikan.

"Artinya, jangan begitu pertanyaannya, kalau begitu pertanyaannya ya gimana mau 7 dibandingkan dengan 5. Tapi begini semua itu kan ya memang konstalasi dunianya kayak seperti ini, tapi kita bagaimana pun itu bisa mempertahankan pertumbuhannya itu konsisten, naik dikit, enggak banyak tapi naik," ujar Darmin di komplek Istana Presiden, Rabu (6/2/2019).

Menurut Darmin, meski sebesar 5,7%, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di tengah kondisi ekonomi dunia yang bergejolak. Dia menyebut ekonomi Indonesia menunjukan resilience alias daya tahan di tengah kondisi tersebut dengan tetap tumbuh.

Selain itu, Darmin menjelaskan pertumbuhan yang lebih tinggi tergantung pada komposisi belanja pemerintahnya. Contohnya dalam 5 tahun terakhir pemerintah membenahi infrastruktur karena sebelumnya sudah terlambat belasan tahun.

"Tanpa itu dibenahi kita itu sudah terkendala oleh pertumbuhan industri macam-macam. Nah setelah itu sudah dibenahi, ya nanti bisa saja dibuat kebijakannya yang lebih mendorong pertumbuhan tapi tidak berarti infrastrukturnya kemudian menjadi tidak dibangun lagi, dibangun tapi mungkin tidak secepat dulu, 4-5 tahun terakhir tidak sebanyak itu," terang Darmin.

Dia menambahkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 masih mengarah ke 5,3%, meskipun sejumlah pihak menilai tak akan tercapai.

"Masih di angka itu, sekitar 5,3% tapi memang ada yang bilang 5,2% ya ya udah deh. Bagi saya itu Arahnya naik terus pelan-pelan, mengarah ke 5,3%," tutur mantan Gubernur Bank Indonesia itu.

Terakhir Darmin sempat ditanya apakah pemerintah cukup puas dengan capaian pertumbuhan 5,7%? Darmin pun merespons pertanyaan itu.

"Cukup puas dalam arti dalam situasi yang ada, puas itu gimana sih? Itu kan kita sebenarnya lebih puas kalau 7, gimana sih...Jadi jangan nanya cukup puas.. Haha," Darmin.


Hide Ads