Rapat Sampai Malam, Pemerintah Tunda Pungutan Ekspor Kelapa Sawit

Rapat Sampai Malam, Pemerintah Tunda Pungutan Ekspor Kelapa Sawit

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 01 Mar 2019 08:16 WIB
Ilustrasi Foto: CV Karya Hidup Sentosa
Jakarta - Pemerintah akhirnya mendapatkan keputusan mengenai ditarik atau tidaknya pungutan ekspor hasil kelapa sawit lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Per 1 Maret pemerintah masih akan menunda pungutan tersebut.

Ditemui usai rakor kelapa sawit, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menjelaskan bahwa harga sawit yang masih fluktuatif dinilai menjadi alasan utama penundaan kembali pungutan ini.

Atas hal tersebut, Darmin ingin mengubah cara perhitungan harga referensi sawit terkini, dia mengatakan ingin menghitung harga referensi per 2-3 bulan sekali agar mendapatkan tren rata-rata yang akurat. Selama ini pemerintah sendiri menghitung nilai referensi dengan batas harga yang terkena pungutan sebesar US$ 570/ton.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pungutan ekspor itu perlu mempertimbangkan ada konsistensi pengenaan dalam periode 2-3 bulan supaya ada kepastian kepada para pelaku usaha, termasuk petani, pedagang, dan juga eksportirnya. Atas dasar itu, kita komite pengarah sepakati tarif BLU BPDPKS dikenakannya masih US$ 0/ton sampai ada ketentuan baru," ungkap Darmin di kantornya, Kamis malam (28/2/2019).

Oleh karena itu, Darmin mengatakan akan merevisi aturan PMK 152 tahun 2018 yang mengatur tentang pungutan ekspor kelapa sawit. Termasuk juga batas harga referensi untuk penarikan pungutan ekspor kelapa sawit.

"Itu berati PMK-nya akan kita coba usulkan supaya ada penyempurnaan supaya cocok. Jadi revisi PMK 152 tahun 2018 itu akan kita usulkan untuk disempurnakan per satu Maret 2019," ungkap Darmin.


Untuk saat ini sendiri, Darmin memperkirakan harga sawit kini hanya menyentuh US$ 545/ton. Sedangkan batas untuk pungutan sebesar US$ 570/ton.

"Beberapa hari terakhir harga turun lagi menjadi sekitar US$ 545/ton. Sebelumnya, Kemendag terbitkan harga referensi itu nilainya US$ 595,9/ton harga referensi yang berlaku sejak 20 Januari-19 Februari," ungkap Luhut.

"Jadi harga tersebut (referensi Kemendag) tidak merefleksikan harga yang sebenarnya terjadi pada hari terakhir ini," tambahnya.

(ang/ang)

Hide Ads