Sepanjang 2018, laba bersih emiten berkode saham ADRO ini mengantongi laba bersih sebesar US$ 417,72 juta atau setara Rp 5,84 triliun. Angka itu turun 13,56% dari perolehan laba bersih ADRO di 2017 sebesar US$ 483,23 juta.
Melansir keterangan tertulis perusahaan, Selasa (5/3/2019), sebenarnya pendapatan usaha perusahaan naik cukup tinggi, yakni 11% dari US$ 3,26 miliar menjadi US$ 3,62 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapatan perusahaan itu terbagi dari porsi kontribusi dari bisnis pertambangan dan perdagangan batubara mencapai 92%. Harga jual rata-rata batubara Adaro Energy naik 5%.
Adaro Energy juga mencatat peningkatan produksi 4% menjadi 54,04 juta ton, dengan dukungan produksi
kuartalan yang mencapai 15,06 juta ton pada kuartal IV-2018.
Namun beban pokok pendapatan perusahaan membengkak dari posisi US$ 2,12 miliar menjadi US$ 2,41 miliar. Beban usaha juga naik dari US$ 183,65 juta jadi US$ 194 juta. Beban lainnya juga naik dari US$ 6 juta menjadi US$ 124,3 juta.
Kenaikan beban pokok pendapatan itu disebabkan oleh kenaikan nisbah kupas, volume, harga bahan bakar minyak (BBM), maupun pembayaran
royalti kepada Pemerintah Indonesia seiring kenaikan harga jual rata-rata.
Nisbah kupas gabungan rata-rata Adaro Energy mencapai 5,06x pada 2018, atau lebih tinggi daripada 2017 yakni 4,61x dan sedikit lebih tinggi daripada panduan yang ditetapkan sebesar 4,9x.
Kondisi cuaca yang baik pada kuartal III-2018 dan tingginya harga mendorong peningkatan aktivitas pengupasan lapisan penutup di tambang-tambang Adaro Energy dan menghasilkan kenaikan nisbah kupas. Konsumsi BBM perusahaan naik 15%, sementara biaya BBM meningkat 40% akibat
peningkatan pada aktivitas operasional dan harga BBM global.
Untuk pengelolaan fluktuasi harga BBM, Adaro Energy melakukan lindung nilai terhadap sekitar 20% dari kebutuhan BBM di 2018 pada harga yang lebih rendah daripada anggaran. (das/dna)