Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, insentif itu salah satunya terkait pajak. Agus sendiri mengaku terlibat dalam pembahasan Peraturan Presiden (Perpres) terkait mobil listrik.
Perpres itu, lanjutnya, juga memuat terkait insentif tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menambahkan, tanpa insentif tersebut, mobil listrik akan 30 hingga 40% lebih mahal dibanding dengan mobil berbahan bakar minyak
"Kalau tidak dikasih insentif harganya bisa lebih mahal 30-40%, jadi nanti nggak ada yang beli. Makanya kalau insentif paling tidak harganya sama berbahan bakar bensin atau solar," sambungnya.
Pengamat Energi Fabby Tumiwa menjelaskan, kunci pengembangan mobil listrik ialah harga yang terjangkau. Sebab itu, dia mengatakan, perlu insentif baik sisi produksi (industri) maupun konsumsi (pasar).
"Menurut saya, saat ini adalah membangun pasar kendaraan listrik dulu (mobil, bis, motor). Jadi yang didorong adalah insentif bagi konsumen tapi pemerintah menetapkan standar teknologi yang tinggi," ujarnya.
"Sembari industri dibangun. Caranya beri insentif agar produsen mobil listrik berbasis battery membangun fasilitas produksi di Indonesia. Insentifnya bisa tax holiday, pajak perusahaan dan sebagainya," tambahnya.
Dia menambahkan, harga rata-rata mobil listrik sendiri saat ini di kisaran US$ 30 ribu hingga US$ 75 ribu atau sekitar Rp 420 juta-Rp 1 miliar (kurs: Rp 14.000/US$).
"Harga mobil listrik sekarang berkisar antara US$30 ribu-US$75 ribu. Rata-rata di kisaran US$ 30 ribu-US$ 45 ribu untuk jarak tempuh 250-350 km pengisian untuk jenis Battery EV (BEV)," tutur Fabby (hns/hns)