"Karena ini menyangkut temuan hasil reses kemarin, kita kan ke daerah karena menyangkut orang-perorang badan usaha sehingga kami tidak boleh membuka. Itu kode etik. Jadi kita harus tertutup," ujar Ridwan di DPR, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Dalam rapat tersebut membahas penyimpangan dalam penyaluran Elpiji 3 kg, yaitu pengurusan izin sebagai distributor yang harus membayar hingga Rp 1 miliar. Padahal, pengurusan izin seharusnya gratis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biayanya cukup mahal, biaya siluman Rp 1 miliar, satu distribusi, saya tanya tadi direksi Pertamina terima uang Rp 1 pun tidak terima Pertamina, uang itu berputar di calo-calo izin," ujarnya.
Masalah calo tersebut membuat distributor Elpiji 3 kg menghambat proses penyalurannya. Ridwan mengatakan, saat ini distributor Elpiji 3 kg sekitar 3.500 seluruh Indonesia. Idealnya, kata dia, sampai 10.000 distributor.
Oleh karena itu, DPR memberi rekomendasi Pertamina untuk mengubah tata niaga penyaluran Elpiji 3 kg.
"Solusinya adalah menata kembali tata niaga Elpiji gas yang disubsidi ini. Kenapa kok selalu menjadi rebutan di bawah. Kami melihat sedikitnya distributor, kalau sedikit mereka merasa kuat tidak mungkin kita ditutup," ujar Ridwan.
Selain itu, rapat ini juga membahas pembangunan kilang-kilang yang tak kunjung jalan. Padahal, masyarakat menunggu dampak ekonomi dari kilang-kilang tersebut. Sebab itu, DPR mendesak agar pembangunan kilang dipercepat.
"Kilang Bontang dan Tuban, Tuban ada dua, yang sama Rosneft dan TPPI. TPPI harus bulan ini, Tuban tahun ini. Kalau Bontang akhir Maret atau awal April peletakan batu pertama," ujarnya. (hns/hns)