Surplus neraca perdagangan tercatat pada Februari 2019. Padahal, sejak Oktober 2018 hingga Januari 2018 mengalami defisit.
Faktor apa saja yang membuat neraca perdagangan nasional surplus, lalu bagaimana respon pemerintah tentang capaian tersebut? Simak selengkapnya dirangkum detikFinance, Sabtu (16/3/2019).
Surplus Setelah 4 Bulan Tekor
Foto: Pradita Utama
|
Surplus neraca perdagangan terjadi karena ekspor yang lebih besar dari impor. Nilai ekspor pada Februari tahun ini sebesar US$ 12,53 miliar dan impor US$ 12,20 miliar.
"Kalau digabungkan, maka neraca dagang Februari 2019 alami surplus US$ 0,33 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2019).
Surplus terjadi karena sektor non migas sedangkan migas masih tercatat defisit karena minyak mentah. Sementara itu, gas tercatat surplus.
Meski Februari tercatat surplus, neraca perdagangan sepanjang 2019 masih defisit US$ 730 juta gara-gara migas.
Sri Mulyani Tetap Waspada
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Eduardo Simorangkir
|
"Neraca perdagangan kita lihat kalau dari sisi surplus itu positif, tetapi pemerintah akan tetap terus waspada. Kenapa? Karena ini positifnya terdiri dari dua-duanya negatif, yaitu ekspornya negatif 11,3%, impornya turun lebih dalam lagi," katanya di Kabupaten Serang, Banten, Jumat (15/3/2019).
Dia menjelaskan, pemerintah akan melihat apakah penurunan ekspor impor hanya musiman atau karena memang masalah fundamental.
"Jadi kita juga harus lihat faktor-faktor apakah ini bentuknya seasonal karena biasanya bulan Februari, Maret ini adalah faktor musiman penurunan atau kah memang ada sesuatu yang sifatnya lebih fundamental seperti dampak dari pelemahan ekonomi dunia," ujarnya.
Lalu terkait impor, pemerintah juga akan memantau apakah penurunannya disebabkan oleh adanya substitusi. Sri Mulyani menuturkan, meski neraca dagang positif tapi pekerjaan rumah pemerintah masih banyak.
Membaik Hanya Sementara?
Ilustrasi/Foto: Pradita Utama
|
Defisit neraca perdagangan di bulan tersebut akan didorong oleh tingginya konsumsi saat Ramadan dan Lebaran. Itu akan mendorong permintaan impor.
"Kalau sampai Maret saya rasa (surplus) masih berlanjut karena impor masih akan kecil, (surplus hanya) untuk jangka pendek. Tapi mulai April, Mei akan defisit lagi karena di situ ada momen Lebaran ya, puasa dan Lebaran," katanya saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Namun, surplus di Februari bisa menjadi momentum bagi pemerintah memunculkan optimisme demi menarik investor. Pasalnya investasi ini juga menjadi solusi menyelesaikan masalah neraca perdagangan.
Butuh Ekstra Kerja Keras
Foto: Rengga Sancaya
|
"Kelihatannya kerja kerasnya masih belum cukup, artinya masih perlu bekerja lebih keras lagi untuk membuat, satu ya neraca perdagangannya dan transaksi berjalannya bisa lebih konsisten, lebih baik," kata Darmin ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2019).
Darmin menilai, di bulan-bulan awal tahun memang neraca perdagangan memiliki peluang lebih besar untuk mengalami surplus. Seperti pada 2018, neraca perdagangan di Maret surplus US$ 1,09 miliar dengan nilai ekspor sebesar US$ 15,58 miliar, dan impor US$ 14,49 miliar. Namun Februari tahun lalu defisit.
"Ya, yang pertama ya, neraca perdagangan ini positif walaupun tahun lalu juga bulan-bulan itu ya positif," sebutnya.
Oleh karenanya, siklus awal tahunan ini belum bisa dijadikan pijakan bahwa pemerintah bisa memastikan keberlanjutan surplus neraca perdagangan.