Sejumlah kalangan percaya bahwa saldo yang mengendap itu alan ditampung oleh bank ataupun perusahaan jasa uang elektronik untuk diputar kembali disalurkan jadi utang dan menghasilkan bunga sehingga dianggap mengandung unsur utang piutang dan riba.
Bagaimana faktanya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, saldo uang elektronik tak masuk dalam sistem perbankan yang dapat 'diputar' dan dijadikan pinjaman atau utang piutang yang dapat mengakibatkan timbulnya riba.
Dihubungi detikFinance, Ahli Fikih Muamalah Oni Sahroni menjelaskan, transaksi yang dilakukan menggunakan fasilitas non tunai ini pun tak mengandung unsur riba karena uang elektronik hanyalah alternatif alat pembayaran.
Nilai uang yang tersimpan dalam uang elektronik sama dengan uang tunai yang dimiliki pengguna. Saldo yang tersimpan pun akan berkurang dengan sendirinya hingga habis tiap kali digunakan untuk melakukan pembayaran beragam jasa seperti jasa transportasi online.
"Dalam fikih akad, transaksi ini dikenal dengan jual beli jasa dengan fee tunai dan jasa tidak tunai (ijarah maushufah fi dzimmah)" sebutnya.
Berdasarkan PBI 20/2018, uang elektronik di Indonesia dibagi menjadi dua yakni uang elektronik berbasis chip. Uang elektronik jenis ini umumnya berbentuk kartu seperti e-money, flazz dan brizzi.
Jenis kedua yakni uang elektronik berbasis server. Uang elektronik jenis ini biasanya berbentuk aplikasi seperti GoPay, Ovo hingga LinkAja.
Menurut Oni, walaupun produk dengan kriteria dan spesifikasi ini belum ada fatwa dan opini syariahnya, tetapi substansi dan ketentuan ijarah maushufah fi dzimmah itu sudah dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI No.101/DSN-MUI/X/2016 tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah dan Standar Syariah Internasional AAOIFI No.9 tahun 2002 tentang Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik. (dna/das)