IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). Status IPM menggambarkan level pencapaian pembangunan manusia dalam suatu periode.
"IPM penting untuk mengukur seberapa jauh program pembangunan yang telah dilakukan pemerintah untuk dapat meningkatkan kualitas hidup manusianya," kata Kepala BPS Suharyanto, Senin (15/4) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya ada tiga indikator dalam mengukur komponen-komponen IPM di atas. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
Dari indikator kesehatan, yang dinilai adalah tidak adanya fasilitas buang air besar (BAB), angka perkawinan dini (kurang dari 16 tahun) dan jumlah tenaga kesehatan per 1.000 penduduk.
Sedangkan dari indikator ekonomi, ukuran yang dipakai adalah gini rasio, tingkat pengangguran terbuka, tenaga kerja, rata-rata upah buruh, UMP dan PDRB per kapita.
Dan untuk indikator pendidikan, ukuran yang dipakai adalah angka partisipasi kasar SD dan SMP serta rata-rata lama sekolah seorang kepala rumah tangga. APK yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat partisipasi sekolah, tanpa memperhatikan ketepatan usia sekolah pada jenjang pendidikannya.
Dari data BPS, seperti dikutip detikFinance, Selasa (16/4/2019), tingkat tidak adanya fasilitas buang air besar di Provinsi Papua berkurang dari 30,84 pada 2017 menjadi 30,29 pada 2018. Dan jumlah tenaga kesehatan per 1.000 penduduk meningkat dari 1,57 pada 2017 menjadi 2,56 pada 2018, sedangkan angka perkawinan dini atau yang menikah di umur kurang dari 16 tahun turun dari 10,91 menjadi 10,1.
Sementara dari indikator ekonomi, gini rasio di Provinsi Papua turun dari 0,39 menjadi 0,38, tingkat pengangguran terbuka turun dari 11,25 menjadi 7,83, tenaga kerja formal bertambah dari 21,81 menjadi 22,37 hingga pendapatan per kapita, upah buruh/karyawan/pegawai, dan UMP nya meningkat.
Sedangkan dari indikator pendidikan, angka partisipasi pendidikan dasar dari SD dan SMP bertambah. Rata-rata lama sekolah seorang kepala rumah tangga juga meningkat dari 6,5 tahun menjadi 6,6 tahun.
Disparitas Masih Tinggi
Meski IPM Provinsi Papua saat ini telah naik kelas dari rendah menjadi sedang, namun disparitas IPM antar kabupaten/kota nya tercatat masih sangat tinggi.
Di Provinsi Papua misalnya, angka IPM untuk kabupaten/kota terendah dipegang oleh Kabupaten Nduga sebesar 29,42. Sementara Jayapura sebagai kota dengan IPM tertinggi di Papua mempunyai nilai 79,58.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan ketimpangan IPM di Papua juga bisa dilihat dari IPM antara orang asli Papua dan pendatang. Dia bilang peningkatan IPM Papua secara keseluruhan didominasi oleh dorongan penduduk pendatang yang kini semakin banyak di Papua.
"Ketika kami melihat secara detail, orang asli papua tidak ada peningkatan IPM secara signifikan. Kalau secara keseluruhan memang iya ada peningkatan karena di Papua terjadi arus pendatang atau penduduk dari luar Papua yang cukup tinggi terutama di kota-kota dan masuk ke perdagangan itu banyak banget," katanya kepada detikFinance saat dihubungi, Selasa (16/4/2019).
"IPM secara keseluruhan tak ada salahnya ketika ingin ada tren perbaikan. Tapi yang juga harus dilihat di masing-masing daerah apakah penduduk aslinya juga mengalami perbaikan. Kalau dibedah, penduduk-penduduk asli Papua belum mengalami peningkatan yang signifikan," tambahnya.
Disparitas antara kabupaten/kota di Provinsi Papua memang masih sangat tinggi. Provinsi lainnya yang disparitas antara kabupaten/kota nya tinggi adalah Papua Barat dan NTT, sementara disparitas terendah dipegang oleh provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Tonton juga video Tinjau Stadion Papua Bangkit, Jokowi: Fokus jadi Provinsi Sepakbola dan Atletik:
(eds/zlf)