-
PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kembali menjadi bahan perbincangan publik. Episode kali ini bertemakan sengkarut laporan keuangan.
Pada laporan keuangan 2018, Garuda Indonesia secara mengejutkan mencatatkan laba bersih. Padahal di kuartal III-2018 BUMN ini masih menderita kerugian yang cukup besar
Polemik ini terus bergulir. Berbagai pihak berwenang mulai memberikan tanggapan seperti PT Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mereka akan meminta keterangan mulai dari manajemen hingga Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan tersebut. Apalagi laporan keuangan 2018 milik Garuda Indonesia mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Laporan keuangan 2018 milik PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menimbulkan kegaduhan. Laporan keuangan ini dianggap janggal dan ditentang oleh dua komisaris perusahaan.
Kejanggalan laporan keuangan itu membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan memanggil kantor akuntan publik (KAP) yang mengauditnya. Adapun KAP yang mengaudit laporan keuangan GIAA 2018 adalah Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (Member of BDO International).
"KAP mengaudit berdasarkan perintah BPK. Jika memang terjadi [kejanggalan laporan keuangan] seperti itu, maka untuk tahap awal kami akan mengundang KAP-nya dulu," kata Anggota BPK, Achsanul Qasasi, dilansir dari CNBC Indonesia.
BPK akan memanggil KAP tersebut untuk meminta penjelasan terkait laporan keuangan GIAA. Setelah itu BPK hendak memanggil direksi Garuda Indonesia untuk melakukan pemerikaaan lebih jauh.
"Setelah itu baru kami lakukan Audit untuk mengetatahui detailnya," kata Achsanul.
Selain itu PT Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berencana memanggil manajemen PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Pemanggilan itu berkaitan dengan kabar anehnya laporan keuangan perusahaan.
Direktur Utama BEI Inarno Djayadi menegaskan bahwa pihaknya akan memanggil manajemen Garuda Indonesia untuk meminta klarifikasi atas polemik tersebut.
"Pasti kita akan minta klarifikasi. Saya dengar dalam waktu dekat akan dipanggil," ujarnya kepada detikFinance.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menilai Menteri BUMN Rini Soemarno harus turun tangan mengatasi polemik laporan keuangan tersebut.
"Ini masalah yang sangat serius, bahkan Menteri BUMN diharapkan langsung turun tangan membenahi sengkarut laporan keuangan Garuda," ujarnya kepada detikFinance.
Menurut Bhima, laporan keuangan jadi indikator penting bagi pelaku pasar untuk lakukan valuasi fundamental kinerja emiten. Apalagi Garuda Indonesia sahamnya sudah tercatat di pasar modal.
"Jika terbukti bersalah, pihak direksi Garuda harus segera pecat bagian keuangan yang bertanggung jawab untuk pulihkan trust," tanbahnya.
Bhima menilai, jika masalah laporan keuangan ini tetap berlanjut bukan tak mungkin investor makin tidak tertarik memegang saham Garuda Indonesia. Efeknya juga berpengaruh kepada saham BUMN lainnya.
"Reaksi investor yang memegang saham Garuda cukup negatif. Hari ini saham Garuda anjlok -7,6% buktikan bahwa dugaan pembukuan lap keuangan yang tak sesuai prosedur menciptakan distrust dikalangan investor. Ini sangat berbahaya, karena kredibilitas BUMN penerbangan dipertanyakan," tutupnya.
Isu ini pun menjadi ramai ketika ada kabar dua komisaris menolak menandatangani laporan keuangan tersebut.
Piutang itu berasal dari kontrak kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (onboard wifi) dan hiburan pesawat. Nilainya kontrak yang ditandatangani Desember 2018 itu mencapai US$ 239,94 juta.
Dengan akal-akalan laporan keuangan itu, alhasil pada 2018 GIAA mencatatkan laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000).
Setelah kabar itu terungkap, muncul kabar baru. Ternyata nilai transaksi itu menyusut.
Melansir CNBC Indonesia, perubahan nilai transaksi itu diumumkan dalam keterbukaan informasi oada 4 April 2019. Tercatat nilai transaksi turun menjadi US$172,94 juta.
Dengan demikian nilai transaksi dengan Mahata menyusut hingga US$ 67 juta, atau sekitar Rp 948,2 miliar.
Jika semula biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan in-flight wifi di 153 pesawat milik Garuda dihargai US$ 131,94 juta, maka menurut versi terbaru ini harganya kini hanya US$ 92,94 juta. Sementara itu, hak pengelolaan in-flight entertainment tetap di angka US$ 80 juta.
Selain itu, Sriwijaya tidak lagi dimasukkan dalam transaksi ini. Dalam perjanjian awal, nilai pemasangan dan pengelolaan in-flight wifi pada 50 pesawat yang dioperasikan Sriwijaya dihargai senilai US$ 30 juta. Namun, Sriwijaya Air tidak lagi disinggung dan kini hanya menyebutkan layanan untuk Garuda dan Citilink.
Menariknya lagi, nilai transaksi dengan Mahata di laporan keuangan kuartal I-2019 masih dengan angka yang sama yakni US$ 239,94 juta. menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, jika nilai versi baru yang melewati proses appraisal ini dicatatkan dalam laporan tahunan 2018, Garuda aslinya mencatatkan rugi bersih pada tahun lalu.
Secara operasional, total beban usaha yang dibukukan Garuda pada 2018 mencapai US$ 4,58 miliar, atau sebesar US$ 206,08 juta lebih besar dari pendapatannya. Saat itu, transaksi Mahata (versi pertama senilai US$ 239,94 juta) menjadi penyelamat, meski masih berstatus piutang.
Dengan revisi nilai transaksi versi penilai independen menjadi hanya US$ 172,94 juta, maka perusahaan pelat merah ini semestinya mencatatkan Pendapatan Lain-Lain Bersih senilai US$ 211,8 juta (dan bukannya US$ 278,81 juta) pada 2018.
Dus, laba usaha pun hanya US$ 33,8 juta (dan bukannya US$ 100,8 juta). Ini berujung pada rugi sebelum pajak US$ 47,99 juta (dan bukannya laba sebelum pajak US$ 19 juta). Jika kontribusi transaksi Mahata dan Sriwijaya dimasukkan (sebesar US$ 30juta), maka perseroan masih memikul rugi sebelum pajak US$ 17,99 juta.