Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini rapat dewan gubernur (RDG) berikutnya, BI akan menurunkan bunga acuan. Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut BI sudah waktunya menurunkan bunga acuan jika dilihat dari kondisi ekonomi Indonesia.
Lalu perlukah bunga acuan BI diturunkan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dolar AS Kembali Menguat ke Rp 14.250 |
"Hal ini hanya bisa dilakukan melalui kombinasi kebijakan fiskal moneter yang ekspansif, pemerintah saat ini sudah ekspansif dengan kebijakan pembangunan infrastruktur yang begitu masif," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Kamis (13/6/2019).
Dia menyampaikan, selain itu juga dibutuhkan kebijakan moneter yang juga bersifat longgar, yakni suku bunga yang rendah. Menurut dia, sangat wajar jika semua pihak mengharapkan BI menurunkan suku bunga. "Memang bunga acuan 6% sebenarnya tidak terlalu tinggi, apabila kita merujuk suku bunga acuan BI selama ini," ujar dia.
Memang, Indonesia pernah mengalami suku bunga acuan yang jauh lebih tinggi di kisaran 7% - 8%. Tapi kondisi sekarang ini menurut Piter, menuntut pelonggaran moneter yang bisa memacu domestik demand.
Baca juga: Bursa Asia Kompak Merah, IHSG Dibuka Merosot |
Apalagi saat ini pertumbuhan kredit Indonesia sangat rendah, sehingga tidak cukup untuk memacu investasi dan konsumsi.
"Masalahnya untuk menurunkan suku bunga, tidak semudah itu untuk BI, ada nilai tukar yang harus diperhatikan karena sangat rentan. Penurunan suku bunga apabila dilakukan di saat yang tidak tepat, bisa menyebabkan rupiah tertekan," jelas dia.
Piter menyebut bank sentral juga berupaya untuk hati-hati dalam menyesuaikan kebijakan suku bunga. Namun BI tetap berupaya untuk akomodatif melonggarkan likuiditas melalui instrumen kebijakan non bunga. "Ini adalah alternatif kebijakan BI apabila tidak bisa menurunkan suku bunga," ujarnya.
(kil/zlf)