Tetek Bengek yang Bikin Kelas Menengah Tanggung Sulit Beli Rumah

Liputan Khusus Susahnya Beli Rumah

Tetek Bengek yang Bikin Kelas Menengah Tanggung Sulit Beli Rumah

Danang Sugianto - detikFinance
Minggu, 04 Agu 2019 17:34 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Semakin langkanya ketersediaan lahan membuat harga rumah tapak semakin meningkat. Peningkatan harga juga terjadi untuk wilayah pinggiran Jabodetabek.

Rata-rata harga rumah di sekitaran Bekasi, Tangerang, Depok hingga Bogor saja sudah mencapai kisaran Rp 450-500 juta. Dengan harga itu rata-rata cicilan KPR untuk jangka waktu 20 tahun saja sekitar Rp 4 jutaan.

Idealnya untuk membeli rumah dengan cicilan KPR sebesar itu harus memiliki penghasilan sekitar Rp 12 juta. Sementara angka segitu sulit dipenuhi oleh kalangan menengah tanggung yang gajinya sekitar Rp 5-10 juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu apa sebenarnya yang membuat harga rumah tapak semakin tak terjangkau?

Menurut pandangan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata selaku pengembang, ada beberapa faktor yang membuat harga rumah begitu mahal. Salah satunya adanya kandungan non produksi dalam penetapan harga rumah.

"BPHTB mislanya, sekarang kan sudah 5%. Cuma masalahnya ada ini di pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Pemda kan ada 400 sekian yang punya pandangan berbeda. Mereka mengandalkan bahwa BPHTB pemasukan daerah," ujarnya kepada detikFinance.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB adalah pajak pembelian yang dibebani kepada pembeli. Besarannya 5% dikali harga jual dikurangi nilai jual obyek pajak tidak kena pajak. Nah besaran nilai tidak kena pajak berbeda setiap daerah.

Biasanya pengembang menawarkan gimmick bebas BPHTB. Padahal terkadang BPHTB sudah masuk dalam harga jual yang ditalangi terlebih dulu oleh pengembang.

"Ini kan kalau BPHTB bisa dibuat kebijakan pusat dan bisa dilaksanakan di daerah, misalnya 1% atau bahkan di 0% kan, itu akan membantu konsumen," tambahnya.

Tak hanya BPHTB, masih ada sederet komponen biaya non produksi dalam harga jual properti. Misalnya biaya KPR yang rata-rata 5% dari plafond yang ditanggung pihak bank. Di dalamnya termasuk asuransi KPR.

Selain itu ada juga pajak penjual atau pajak penghasilan (PPH) dari pengembang sebesar 5% dari harga jual. Unsur ini juga membuat pengembang memutar otak mematok harga jual.

Belum lagi ada biaya notaris yang menyiapkan untik atka jual beli (AJB) dan akta kredit. Belum lagi biaya tetekbengek lainnya yang biasanya dimasukan dalam kandungan harga jual.

"Jika konsumen semakin tidak terbebani biaya-biaya itu, mereka bisa mendapatkan kualitas rumah yang baik juga," tambah Soelaeman.


(das/dna)

Hide Ads