Rizal Ramli Sebut Ekonomi RI Tumbuh 4,5%, Ekonom: Nggak, Masih 5%

Rizal Ramli Sebut Ekonomi RI Tumbuh 4,5%, Ekonom: Nggak, Masih 5%

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 12 Agu 2019 14:22 WIB
Rizal Ramli/Foto: Trio Hamdani
Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menepis prediksi Rizal Ramli yang mengatakan ekonomi Indonesia bakal 'nyungsep' tahun ini. Rizal meramalkan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,5%.

"Wow, nggaklah kalau segitu (4,5%). Over persimistis kalau sampai di bawah 5%. Kita (INDEF) pasang target masih 5%," tutur Bhima kepada detikFinance, Senin (12/8/2019).

Bhima mengatakan, meski prediksi INDEF tak sampai 5,2% seperti yang sudah ditargetkan pemerintah, namun ia yakin pertumbuhan ekonomi RI akan tetap bertahan di angka 5%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau target pemerintah memang nggak mungkin tercapai. Kalau target pemerintah 5,2% itu terlalu ambisius. Tapi kalau sampai di bawah 5% kelihatannya tidak ya," ujar Bhima.


Menurutnya, kesempatan RI untuk meraih pertumbuhan ekonomi 5% di tahun 2019 ini masih besar. Pasalnya, di akhir tahun 2019 atau kuartal IV-2019 akan ada faktor musiman yakni meningkatnya konsumsi dalam negeri seiring dengan adanya perayaan Natal dan tahun baru.

"Karena di akhir tahun nanti masih ada sumbangan dari faktor musiman di Natal dan tahun baru. Biasanya konsumsi rumah tangganya relatif tinggi di kuartal keempat. Itu yang membuat kenapa masih 5%," terang Bhima.

Bhima juga mengungkapkan beberapa faktor yang membuat ekonomi RI diprediksi stagnan pada angka 5%. Salah satunya adalah perlambatan konsumsi rumah tangga pada masyarakat kelas menengah atas.

"Kita menghadapi tantangan yang cukup berat di sektor perdagangan, investasi, dan ada problem terkait perlambatan konsumsi rumah tangga khususnya kelas menengah atas yang menunda untuk belanja, itu yang membuat perekonomian kita stagnan di 5%," papar dia.


Hal di atas menurut Bhima disebabkan oleh harga komoditas yang semakin rendah sehingga sektor pertambangan dan perkebunan itu terdampak. Ia juga menyebutkan, konsumsi masyarakat kelas menengah bawah itu terbantu dengan adanya bantuan sosial (bansos) dari pemerintah.

"Kalau kelas bawah itu kan terbantu oleh bansos (bantuan sosial), dan belanja pemilu (pemilihan umum) itu menyasar kelas bawah. Tapi kalau untuk kelas menengah atas memang agak sedikit mengalami perlambatan. Karena harga komoditas yang rendah itu membuat pendapatan kelas menengah yang bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan itu terdampak. Jadi itu yang membuat kelas menengah atas agak sedikit menahan," jelas Bhima.

Bhima juga menyebutkan faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya 5%, di antaranya adalah kredit konsumsi RI yang mengalami perlambatan di semester I-2019, penjualan sektor otomotif yang menurun, dan juga properti yang mengalami perlambatan.

Ia memaparkan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,2% harus mempertajam insentif fiskal dan moneter yang sudah selama ini diberikan pemerintah. Lalu, ia juga menyebutkan agar Bank Indonesia (BI) terus menurunkan suku bunga hingga 50 basis poin (bps) sampai akhir tahun 2019.

"Makanya kalau mau tumbuh seperti target pemerintah kuncinya ya harus ada kebijakan-kebijakan yang counter cyclical atau melawan siklus yang sedang lemah melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kalau menurut saya sekarang sudah lebih banyak insentif, tinggal insentif fiskalnya dipertajam. Kedua, BI disarankan untuk menurunkan suku bunga hingga 50 basis poin sampai akhir tahun. Itu tujuannya biar ke suku bunga kredit yang rendah memacu pelaku usaha dan konsumen untuk lebih banyak melakukan aktivitas konsumsi, investasi, dan ekspor," imbuh dia.


Sebagai informasi, Rizal Ramli yang dulu pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 bakalan anjlok atau cuma sebesar 4,5%. Menurut pria yang akrab disapa RR tersebut pemerintah selalu membantah kondisi perekonomian Indonesia masih baik.

Rizal juga menyoroti laporan Bank Indonesia (BI) yang mencatat defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) kuartal II-2019 sebesar US$ 8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB).

"Grafik transaksi berjalan makin lama makin merosot, terakhir US$ 8 miliar dolar lebih, negatif, dari PDB meningkat. Ini sangat membahayakan," sebut Rizal.


(hns/hns)

Hide Ads