Umumnya, generasi milenial disebut-sebut sebagai generasi yang akrab dengan teknologi dan memiliki hasrat untuk mencari pengalaman baru.
Generasi milenial rupanya juga akrab di telinga pengusaha. Lantaran, jumlahnya yang banyak menjadi pasar potensial untuk digali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam wawancara khusus dengan detikFinance, Direktur Utama Jasindo Eddy Rizliyanto buka suara mengenai potensi hingga strategi perusahaan untuk mengembangkan pasar tersebut di kantornya, Mulia Business Park, Jakarta, Rabu (14/8/2019). Berikut petikan wawancara:
Sebenarnya Jasindo asuransi pelat merah, orang tahunya kita itu segmen asuransi umum. Tapi, di asuransi umum sendiri Jasindo branding-nya sangat kuat di korporasi, biasanya megarisk yang kita cover. Masalah oil and gas, keuangan, aset-aset besar energi, pelabuhan. Orang tahu bukan hanya domestik tapi luar negeri itu asuransi Jasindo terkenalnya asuransi jasa.
Tapi bukan di ritel kita nggak punya produknya, kita punya, tapi lebih ngetop di corporate. Kalau kita sih membuat kelas di sini di internal corporate 60%, tapi ada juga yang sebut ritel 40%, tapi bagi perusahaan lain mungkin itu corporate juga. Kita anggap misalnya properti, aneka kami anggapnya di sini ritel.
Ritelnya seperti apa?
Misalnya kita travel insurance, itu dikategorikan ritel, asuransi kesehatan kita masih kelompokan di sini ritel padahal sebenarnya kesehatan yang di kita itu adalah kesehatan yang bagi perusahaan lain corporate, yang kita masuk itu adalah jamkesmen dan jamkestama dan asuransi pegawai-pegawai perusahaan besar. Misalnya perorangan kita belum masuk.
Apa Jasindo juga membidik milenial?
Kalau kita cerita milenial, kita harus lihat lagi besaran bahwa di tahun 2020-2035 Indonesia mengalami bonus demografi, di mana di periode itu adalah puncak suatu generasi Indonesia memiliki 70% penduduk kategori muda. Tapi muda itu menurut World Bank usianya 15-64. Sementara kelompok milenial yang lahir 1980-1990 sampai 2000 itulah bagian 70%. Tapi mungkin kalau rinciannya saya nggak tahu persis di populasi, kemungkinan yang disebut milenial 40-50% dari 70% bonus demografi itu. Kami menyiapkan strategi membuat korporasi dan ritel itu sama.
Namun demikian, kalau untuk potensi bisnis yang sudah dibuat konsultan kita PwC, bahwa bisnis kita tetap corporate, oil and gas, keuangan dan aneka. Aneka itu irisan. Aneka itu adalah sebagiannya termasuk ritel, personal accident, travel insurance, ada di situ semua makanya kami akan menggarap itu. Kami sedang menyiapkan platform digital menuju insurance tech. Karena sekarang sudah berubah model bisnis dari owning economy menuju sharing economy, makanya kita akan kolaborasi dengan perusahaan-perusahaam fintech untuk menggarap digital ini, digital insurance.
Digital insurance itu seperti apa, bisa dijelaskan?
Digital insurance ini untuk menggarap pasar ritel, lebih spesifik lagi pasar milenial. Milenial itu kan sudah terbiasa dengan gadget connected. Dia nggak makan nggak apa-apa, yang penting ada jaringan, baterainya full. Mereka nggak kemana-mana langsung bisa beli produk di gadget, kita sudah ada mockup untuk insurance tech, kalau mau beli produk asuransi bisa di situ. Bukan hanya itu, dia bisa melakukan transaksi yang lain, investasi, bayar pulsa. Tapi, di aplikasi kita, apa namanya, namanya belum disebut. Mudah-mudahan kalau bisa tahun ini kita launching. Mockup sudah ada, bisa investasi, bisa nabung. Yang kita kejar traffic, bukan hanya platform kita.
Milenilal sering disebut belum melek asuransi? Bagaimana tanggapannya?
Sebenarnya ada beberapa tantangan di Indonesia khususnya antara lain masalah literasi. Literasi keuangan khususnya asuransi masih rendah. Lebih kurang 15% yang disebut literasi 15% kira-kira, dari 100 orang cuma 15 orang yang tahu asuransi. Kalau yang punya (asuransi) namanya penetrasi itu cuma 8%. Tapi bagi kami justru potensi, yang nggak tahu mau kita garap.
Angka itu rendah, apa karena mahal?
Kita mesti kembali lagi, kenapa literasi rendah sosialisasi mungkin. Kalau dibilang mahal asuransi itu murah sebenarnya. Dan orang semua dalam hidup kan ada risiko, risiko itu exist, yang kita sebut risiko itu adalah finansial yang perlu kita asuransikan. Kami asuransi umum ya, jadi cerita risiko financial. Kalaupun jiwa kesehatan ada juga. Jadi yang mau kita cover mindset orang melek insurance dan kita aktif mensosialisasikan itu mesage OJK kita harus ikut mensosialisasikan. Memang potensi itu kita sendiri aktif.
Ada sudut pandangan BPJS sudah cukup, menurut bapak? dan kapan sebaiknya punya asuransi?
Sebenarnya kalau untuk anak milenial dia itu pasti melek asuransi setelah memiliki pendapatan sendiri. Kalau tidak, tentu yang mengcover adalah orangtuanya. Asuransi itu, asuransi kecelakaan diri termasuk travelling tadi, kesehatan sudah ada BPJS sekarang, sudah enak sekarang. Tapi kan itu hanga untuk sakit, apabila ada sakit-sakit critical ilnes, itu ditutup sendiri orang tua. Kalau punya pendapatan sendiri dia pantas sekali menutup itu. Critical illness biasanya 7, cancer, jantung, apalagi yang besar-besar saya juga lupa itu nggak terlalu mahal kalau ditutup sangat pantas.
Seberapa penting asuransi travelling?
Sebenarnya produk itu sudah lama kita miliki, cuma dengam tren lifestyle generasi milenial dan orang-orang yang pendapatannya sudah mencukupi itu kan senang jalan. kebutuhan itu bukan sandang, pangan, papan, tapi menambah exposure pandangan hidup yang berbeda membuat orang-orang Indonesia senang dengam travelling. Sementara generasi milenial sendiri salah satu lifestyle travelling, kuliner. Menurut kami baju branded nggak, nggak kesitu. Inilah yang kita perlu sadari mereka merupakan target market pasar yang makin besar. Makanya kita perlu menyiapkan asuransi perjalanan tapi melalui insurance tech.
Apa saya yang dicover asuransi travelling?
Travelling banyak kelas-kelas jadi misalnya satu periode dalam perjalanan misalnya ke Asia, Eropa kalau dia hobinya travalling keluar. Di domestik juga kita biasa pakai waktu ya, misalnya 3 hari, satu minggu.
Mungkin saya upadate coverage asuransi dari masyarakat Indonesia. Kalau di asuransi perjalanan memggunakan kendaraan bermotor, atau pesawat laut, kereta api, darat, itu udah tercoverage secara umum Jasa Raharja. Misalnya, kalau kecelakaan dia kalau nggak salah dapat Rp 25 juta, meninggal Rp 50 juta, sama semua. Tapi kan itu minimal, misalkan pesawat jatuh, jasa raharja bayar itu hanya Rp 50 juta. Kemudian kalau misalkan pesawat kalau misalnya salah satu penumpang adalah pegawai otomatis dia mendapat coverage BPJS TK sebesar 48x kali gaji berarti ada dua perusahaan asuransi sosial itu otomatia dicover. Dari perusahaan asuransi yang menutup asuransi pesawat dua dapat lagi korban, misal Jasindo yang mengcover dia dapat lagi dari asuransi Jasindo. Jadi 3 asuransi yang akan membayar kepada korban.
Travel insurance di luar itu lagi. Kalau misalnya si A dia menutup travel insurance di Jasindo, misalnya Rp 500 juta dengan uang mungkin Rp 50 ribu mungkin dalam satu hari atau dua hari maka akan ada 4 asuransi yang membayar korban. Dia akan mendapat 4 perusahaan asuransi langsung yang kita kembangkan, ini adalah asuransi keempat. Orang sering, bukan berarti nutup wah ada apa-apa sama gue, gue dapat nih ahli waris.
Asuransi travel tanggung barang hilang?
Iya kehilangan barang untuk di kargo, tapi sedang proses kerja sama dengan market place atau operator kargo, misal GNE, atau Tokopedia ini sedang approaching lah, karena mereka sebagian sudah masuk juga asuransi lain. Traveloka sudah ada asuransi masuk duluan.
Kalau travel insurance kehilangan kenyamanan misalnya bagasi ketinggalan itu ada perluasan tetentu. Kemudian amit-amit kita sakit kita ke Thailand, once kita punya travel insurance bisa di-handle untuk penanganan di rumah sakit. Kalau tadi sampai pesawat jatuh, kalau hal-hal kecilnya itu.
Bisa dijelaskan tren pertumbuhan premi dan klaim?
Kalau tren pertumbuhan pasti lebih besar corporate, kenapa, magnitude corporate kan besar, sementara ritel kita belum sangat serius menggarap. Kalau sudah ada digitalisasi saya rasa dua tahun bisa 50:50 karena ritel ini kecil luas sekali dan digitalisasi mudah menjangkau.
Kalau klaim corporate pasti besar, kalau sebut rata-rata kita bisa melihat tiga tahun terakhir. Tapi bukan berarti 3 tahun terakhir konstan, bisa saja tahun depan meloncat. Indonesia kan dalam jalur khatulistiwa banyak gunung api, di kelilingi laut, tsunami bencana alam jadi faktor di Indonesia yang membuat risiko jadi besar.
Seperti apa yang di cover corporate?
Corporate yang biasa kita cover khususnya Jasindo, banyak mengcover megarisk oil and gas, energi, pelabuhan, aviation. Properti ada juga tapi yang besar-besar. Satelit juga, tapi kan jarang. November tahun lalu ada satelit PSN yang cover. Kita mitigasi risikonya melalui reinsurance jadi nggak kita pegang sendiri, untuk yang besar-besar pasti reasuransikan, nggak bisa pegang sendiri dari data statistik yang ada kita bisa menentukan persentase yang kita alihkan, berapa yang kita pegang.
Misalnya kendaraan bermotor itu kecil pasti ambil sendiri, penutupan pesawat terbang itu kan mahal nggak mungkin pegang sendiri pasti reinsurance, kemudian sumur minyak kalau misalnya driling meledak itu lebih mahal dari pesawat terbang nggak mungkin pegang sendiri, pembangkit listrik yang gede-gede atau kilang minyak nggak bisa pegang sendiri pasti ada persentase yang kita reasuransikan.
Insiden ONWJ kemarin juga diurus Jasindo?
ONWJ anak usaha Pertamina, kebetulann dulu pernah masuk 2006, tapi sekarang bukan kita. Mungkin berikutnya ikut serta, karena itu keputusan klien dia memenangkan siapa sebagai perusahaan konsorsium asuransi. Tapi di 140 yang ada di SKK Migas kita sebagai lead konsorsium.
Ada yang cover dan ada yang direasuransi, itu bagaimana menghitungnya?
Tergantung, makanya atas dasar statistik, pertama, besarannya apakah megarisk, kalau megarisk ada kriteria misalnya di atas 75% harus reasuransi. Kalau nggak megarisk tapi bigrisk 50% reasuransi, kalau risiko kecil ownrisk.
Megarisk seperti apa?
Bukan jenisnya tapi pertanggungjawabannya. Misalnya, pertanggungan SKK Migas itu US$ 200 juta. Kemarin aja bayar klaim total US$ 102 juta, Rp 1,4 triliun. Kita selesaikan di 2018. Kan banyak itu berkas-berkas yang harus diselesaikan, kan tetap kita bayar.
Itu proyek apa?
Itu yang SKK migas, apa ya, Pertamina Hulu Mahakam kalau nggak salah US$ 102 juta. 2014 accident, 2014 itu kejadian. 3 tahun terakhir nggak yang besar-besar. Setahu saya Pertamina Mahakam.
Kinerja Jasindo seperti apa?
Dari aset sekitar Rp 13 triliun, kemudian kita punya coverage 50%, kemudian sepertiga portofolio investasi, sekitar sepertiga per 2018.
Infrastruktur digenjot pemerintah pengaruh ke pertumbuhan premi?
Ya, pasti, cuma di bisnis konstruksi kempetisinya tinggi sekali dalam artian kan banyak project, pemain-pemain di situ agak jor-joran dalam hal premi sebenernya marginnya sudah tipis. Kalau ada satu project mereka kasih premi kecil, mungkin project infrastruktur klaimnya sebenarnya banyak juga, tapi dalam arti besarannya itu perusahaan asuransi berani menutupnya. Kalau project konstruksi bagi perusahaan asuransi ya relatif masih bisa dikelola risikonya, mungkin banyak marginnya di situ. Tapi tidak reasuransi kecuali cukup besar, kalau project menurut saya diambil sendiri risikonya. Sehingga kalau nggak direasuransi marginnya tebel, karena marginnya tebel risiko kecil, dikasih premi rendah. Kalau sudah seperti tinggal tulang, dagingnya tinggal dikit.
Kinerja asuransi Jasindo 2019 proyeksinya seperti apa?
Kalau kita sudah sesuai RJPP kita tumbuh sekitar hampir 10% mudah-mudahan tercapai. Cuma lingkungan global domestik mempengaruhi. Sangat pengaruh itu perang dagang China, semua orang wait and see. Kalau asuransi kan produk pelengkap terhadap produk keuangan lain yang lain kalau banking nempel di situ, sehingga kalau mereka terganggu pasti pengaruh di situ.