Larangan Ekspor Nikel Dipercepat, Pengusaha Surati Jokowi

Larangan Ekspor Nikel Dipercepat, Pengusaha Surati Jokowi

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 23 Agu 2019 07:19 WIB
Larangan Ekspor Nikel Dipercepat, Pengusaha Surati Jokowi
Foto: Eduardo Simorangkir
Jakarta - Pemerintah berencana mempercepat larangan ekspor nikel yang seharusnya jatuh pada tahun 2022. Larangan ini dipercepat untuk mendorong hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan larangan resmi tersebut akan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yang pasti, kata Luhut, aturan terkait larangan itu sudah tersedia.

"Saya kira tunggu aja nanti dari presiden. Tapi saya ingin sampaikan UU kan sudah ada. Minerba itu. Tapi yang paling penting seperti yang sering saya bilang. Nilai tambah," kata Luhut di kawasan Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Larangan ini membuat pengusaha tergabung Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) 'menjerit'. Apa sebabnya? Simak berita selengkapnya dirangkum detikFinance:

APNI keberatan atas wacana pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor nikel. Sebab, pengusaha membutuhkan ekspor sebagai modal untuk membangun pabrik pemurnian atau smelter.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan, pengusaha berupaya membangun smelter untuk mengikuti program hilirisasi pemerintah. Untuk membangun smelter, pengusaha mengandalkan pembiayaan lewat ekspor.

Ekspor sesuai ketentuan ditargetkan pada tahun 2022. Jika dipercepat, katanya, pengusaha tak bisa menutup pembiayaan tersebut.

"Apa yang terjadi, ini dong yang kita minta, tolong dong pemerintah commit dengan ini karena kami melakukan pembangunan, modalnya dari mana, dari kuota ekspor," katanya di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).

Dia bilang, pengusaha memilih untuk ekspor karena harganya lebih menguntungkan. Sebutnya, untuk 1 ton nikel kadar rendah 1,7% bisa dihargai US$ 35.

"Kuota ekspor 1,7% itu low grade semua. Harga ekspor lebih manusia. 1,7% itu bisa US$ 35," terangnya.

Lanjutnya, saat ini banyak pengusaha yang telah membangun smelter. Tambahnya, jika pemerintah tetap berniat mempercepat larangan ekspor maka banyak pengusaha yang tumbang.

"Ada 20 lebih progres (smelter), pembangunannya progres dan itu diverifikasi. Dan itu setiap 6 bulan pemerintah turun, mereka turun langsung," ujarnya.

"Kalau ini berhenti tengah jalan 2019 pengusaha lokal mati semua, dampaknya banyak. Kalau ekspor ore 1,7% sisihkan US$ 5 aja. Cukup. Memang nggak cover 100%," terangnya.


Meidy Katrin Lengkey mengatakan, ada beberapa alasan pengusaha memilih ekspor. Sebutnya, karena harga nikel untuk ekspor lebih tinggi dibanding domestik. Itu juga kualitas nikel yang diekspor lebih rendah dari dalam negeri.

"Yang terjadi saat ini ore dipakai domestik kadar 1,8% up. Bandingkan ekspor di bawah 1,7%. Lokal mintanya kalau nggak 1,8% di-reject," katanya.

"Harga lokal 1,8% yang diterima di sana kalau bicara rupiah cuma Rp 300 ribu perak atau US$ 24. Ekspor 1,7% itu sudah US$ 34 per ton ini kadar rendah lho," tambahnya.

Namun perlu dicatat, dalam kontrak jual beli untuk domestik juga berlaku penalti. Artinya, jika barang yang dikirim tak sesuai pesanan ada potongannya.

"Itu saya bicara normal dalam kontrak ada namanya minus penalti, kadar 1,8% harga Rp 300 ya kalau di bawah 1,8% ternyata 1,7% setelah saya lab, saya potong US$ 3 lho," terangnya.

Di sisi lain, pemerintah telah menunjuk lima surveyor untuk penjualan dan pengapalan mineral dan batu bara. Sebutnya, PT Sucofindo (Persero), PT Surveyor Indonesia (Persero), PT Carsurin, PT Geoservices, dan PT Anindya.

Namun saat dikirim, pembeli memakai jasa survei lain seperti PT Intertek. Alhasil, kadar nikel pun bisa turun.

"Tiba-tiba, benar nggak sih itu kadar dari 1,8% jadi 1,3% Kok drastis, kalau 0 koma 0,5 masih masuk akal," terangnya.

APNI berupaya agar pemerintah tak mempercepat larangan ekspor. Cara yang ditempuh ialah mengirimi surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tak hanya Kepala Negara, APNI juga mengirim surat ke beberapa kementerian dan lembaga.

"Kami sudah bersurat resmi ke Presiden, Setneg, Wantimpres, KSP, Komisi VII, Kemendag, Kemenperin, Kemenkeu, Kementerian ESDM, Gubernur Sultra, Sulteng, dan Maluku Utara, Kapolri, BIN, BAIS," kata Meidy.

Ia menambahkan bahwa Presiden Jokowi sudah meminta pihak terkait menindaklanjuti surat APNI. Surat tersebut, dikatakan Meidy, sudah diterima pada 5 Agustus lalu.

"Surat diterima 5 Agustus tentang Tata Niaga Perdagangan Nikel, nilai tambah smelter sesuai UU 4/2009 dan ketahanan dan kesediaan bahan baku biji nikel ke depan," ujarnya.

Hide Ads