Konversi Utang jadi Saham TubanPetro Tunggu Jokowi

Konversi Utang jadi Saham TubanPetro Tunggu Jokowi

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 12 Sep 2019 13:13 WIB
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) (BPMI Setpres/Kris)
Jakarta - Proses konversi utang Multi Years Bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro) menjadi saham tinggal menunggu penandatangan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan PP itu nantinya, saham pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan akan meningkat dari 70% menjadi 95,9%.

Dalam keterangan tertulis, Kamis (12/9/2019), Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, pihaknya optimis pengembangan TubanPetro akan berkontribusi pasa ekonomi nasional. Lantaran, memasok petrokimia di dalam negeri.

Dia bilang, sebab itu, peningkatan kemampuan produksi petrokimia TubanPetro harus diselesaikan. Salah satunya dengan menyelesaikan utang MYB TubanPetro sebesar Rp 3,3 triliun melalui konversi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries, Sukriyanto menambahkan, sebagai kompensasi dari pelunasan utang sebesar Rp 3,3 triliun, pemerintah akan menguasai 95,9 persen saham di TubanPetro. Sehingga, pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas.

"Jadi saat ini semua menteri dan ketua lembaga terkait sudah paraf, bukti kebijakan konversi ini didukung lintas kementerian," ujar Sukriyanto.

Pasca konversi tuntas, masih tersisa utang Rp 800 miliar yang akan diangsur selama kurun waktu 10 tahun. Angsuran itu akan dilakukan sembari TubanPetro mengembangkan grup untuk mendukung industri petrokimia nasional.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan penambahan saham pemerintah dari 70% menjadi 95,9% di Tuban Petro semakin cepat selesai maka lebih baik. Kata dia, industri petrokimia merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi negara, setelah industri logam dan industri pangan.

Urgensi pengembangan industri petrokimia, juga mendesak karena Indonesia pernah menjadi yang terbesar di ASEAN di periode tahun 1985-1998 dari sisi kapasitas produksi. Namun, kondisi tersebut, saat ini terbalik di mana Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara ASEAN dikarenakan tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia.

"Untuk itu, negara harus hadir dalam penguatan struktur industri petrokimia agar bisa kembali menjadi yang terbesar di ASEAN," terang Fajar.


(das/fdl)

Hide Ads