Pabrik Tekstil PHK Ratusan Karyawan, Pengusaha: Daya Beli Turun

Pabrik Tekstil PHK Ratusan Karyawan, Pengusaha: Daya Beli Turun

Trio Hamdani - detikFinance
Jumat, 27 Sep 2019 16:57 WIB
Ilustrasi/Foto: Wisma Putra
Jakarta - Beberapa pabrik tekstil di Jawa Barat terpaksa merumahkan ratusan karyawan dan PHK sepanjang tahun ini. Ada beragam faktor yang membuat industri tersebut tertekan, bukan semata-mata hanya karena gempuran produk impor.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, tertekannya pabrik tekstil lantaran daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.

"Bukan saja disebabkan oleh impor barang tapi juga lebih banyak oleh daya beli masyarakat kita juga yang turun," kata dia kepada detikcom, Jumat (27/9/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Turunnya daya beli masyarakat, menurutnya dipengaruhi anjloknya harga sejumlah komoditas. Ini membuat produk tekstil tak lagi jadi prioritas.

"Dikarenakan harga komoditi di masyarakat turun seperti karet, kopi dan lain sebagainya turun semua sehingga tekstil ini nggak menjadi kebutuhan prioritas dan tentu bisa ditinggalkan," jelasnya.

Tekanan terhadap industri tekstil tidak dialami secara merata oleh seluruh pelaku industri. Dia menilai imbasnya lebih dirasakan oleh pabrikan yang orientasi pasarnya di dalam negeri, sementara pelaku ekspor tidak terdampak.

Namun dia belum mengetahui secara pasti penyebab rontoknya pabrik tekstil seperti yang terjadi di Jawa Barat baru-baru ini. Ade belum mendapatkan informasi lebih lanjut sehingga ia enggan berkomentar lebih jauh.

"Saya belum dapat berita yang akurat tentang dua pabrik ini. Jadi data-datanya ya kurang tahu saya persisnya. Yang jelas ini tidak merata, tentu ini kan hanya untuk perusahaan-perusahaan yang berorientasi pasar domestik. Kalau yang ekspor naik malahan," tambahnya.


Dalam kesempatan terpisah, Wakil Sekretaris API Jawa Barat Rizal Tanzil mengatakan, berdasarkan penelusuran timnya di dua pabrik tekstil yang memproduksi kain di Cisirung dan Majalaya Kabupaten Bandung pekan lalu, hasilnya memang cukup miris. Dua pabrik tersebut kini hanya memproduksi dengan kapasitas yang sangat minim.

"Ada yang produksi dengan utilisasi hanya 40% dan 25%, padahal bila normal utilisasi sampai 80% dari kapasitas terpasang," kata Rizal dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (27/9/2019).


(toy/ara)

Hide Ads