Ekonom Senior Faisal Basri membeberkan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia jika KPK menjadi lemah, salah satunya dari sisi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Di Indonesia ini sudah menjarah ke seluruh penjuru korupsi itu. Jadi ibarat kanker yang sudah menjarah ke seluruh tubuh. Dana APBN diselewengkan mulai dari proses di tingkat perencanaan, legislasi gitu-gitu ya," kata dia dalam diskusi INDEF di ITS Tower, Jakarta, Senin (30/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lanjut dia, korupsi membuat alokasi sumber daya menjauh dari kepentingan publik, kepentingan bersama, dan kepentingan rakyat. Kekayaan sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam tidak akan bisa menyejahterakan rakyat bahkan sebaliknya malah memarjinalkan rakyat.
"Penguasaan-penguasaan sumber daya ekonomi berada di tangan segelintir orang yang senantiasa berupaya melanggengkan penguasaannya dengan mencari perlindungan atau dukungan politik," sebutnya.
Gara-gara korupsi imbas lemahnya KPK, menurutnya membuat pembangunan tidak akan berkelanjutan alias rapuh. Itu disebabkan praktik korupsi tidak akan membuat pembangunan menjadi sehat, berkualitas dan berkelanjutan.
Dengan demikian, RPJMN yang sudah diukur sedemikian rupa pun menurutnya tidak menjadi kepedulian koruptor. Yang mereka inginkan hanyalah meraup segala sumber daya secepat-cepatnya dan sebanyak mungkin untuk memperkokoh cengkraman politiknya.
Faisal juga menilai, saat ini penerimaan pajak jalan di tempat bukan karena potensi pajak Indonesia rendah, melainkan karena penggelapan pajak masih merajalela, para koruptor mengamankan uangnya di luar negeri.
"Membuat kita semakin kekurangan darah segar untuk menggerakkan pembangunan. Sudah koruptor ini harusnya digantung di Monas karena dia sudah mencuri hasil curiannya dia bawa ke luar negeri tuh. Dosanya berlipat ganda, di dasar kerak neraka itu," ungkapnya.
Tak sampai di situ, imbas rapuhnya KPK bakal membuat investasi cukup banyak tapi hasilnya tak akan signifikan buat pertumbuhan ekonomi yang saat ini cuma di kisaran 5%.
"Semua yang kita bangun membutuhkan dana lebih besar sekitar 50% lebih banyak ketimbang di negara tetangga dan di masa orde baru sekalipun. Kemudian semakin tidak berdikari," jelasnya.
Sementara itu kemampuan negara, pemerintah, dunia usaha, dan sektor keuangan khususnya untuk mendorong perekonomian tidak begitu baik. Alhasil untuk memacu pertumbuhan tidak ada pilihan lain kecuali berutang atau mengandalkan dana luar negeri.
"Sementara itu kemampuan negara menghasilkan devisa tidak meningkat, sebab turun terus sehingga kita rentan menghadapi gejolak eksternal," paparnya.
"Jadi kalau kita bisa meyakinkan Pak Jokowi seperti ini, langsung tuh dia tuh bikin perppu," tambahnya.
(toy/eds)