Pertama, bank BUMN terus memberikan utang kepada proyek yang gagal. Namun pembayaran cicilan dan bunganya dilakukan oleh perusahaan induk di luar negeri. Utang diperlakukan sebagai utang lancar, lalu di-top up lagi.
"Ini modus korupsi lewat bank BUMN. Maaf saya nggak bisa sebut banknya," kata Faisal dalam diskusi INDEF di ITS Tower, Jakarta, Senin (30/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah karena proyeknya jadi lancar, kreditnya dapat top-up puluhan juta dolar AS," sebutnya.
Baca juga: 4 BUMN Bantu Jiwasraya Bikin Anak Usaha |
Kedua, dia mencontohkan utang proyek A macet, lalu mengajukan proyek B untuk membiayai proyek A. Oleh karenanya yang memperoleh pinjaman dari bank cenderung itu-itu saja, banyak yang dekat dengan kekuasaan atau di lingkaran kekuasaan.
Ketiga yaitu modus utang dari bank BUMN untuk membangun gedung perkantoran milik seorang menteri. Gedung itu tidak laku, lalu BUMN lain diminta untuk merenovasi dan menyewanya selama lima tahun.
Keempat yaitu mencari akal supaya tidak perlu izin dari komisaris dan tidak mencapai batas maksimum pemberian kredit (BMPK) maka kredit dipecah-pecah dalam jumlah yang kecil-kecil dengan berbagai nama.
"Kredit dipecah-pecah dalam jumlah kecil dengan berbagai nama, (misalnya) pembantu saya, sopir saya (padahal) orangnya itu-itu saja," ujarnya.
Kelima, ada satu bank swasta sedang sakit 'berat'. Lalu bank-bank BUMN diminta untuk menyelamatkannya. Faisal enggan menyebutkan identitas bank yang dinilainya sedang sakit itu.
Baca juga: BUMN Keroyokan Tangkis Resesi |
(toy/hns)