-
Sriwijaya Air direkomendasikan untuk menghentikan operasinya. Informasi ini didapat berdasarkan surat Sriwijaya Air yang ditujukan kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I pada 29 September 2019.
Surat yang ditandatangani oleh Direktur Quality, Safety and Security Sriwijaya Air Toto Soebandoro itu menggambarkan kondisi terkini terkait kondisi Sriwijaya Air.
Setelah surat itu tersiar ke publik, 3 direksi Sriwijaya Air gelar konfrensi pers. Dua di antaranya mengumumkan pengunduran diri. Alasannya rekomendasi yang mementingan keselamatan itu tidak digubris.
Rekomendasi ini bermulai dari perkembangan situasi terakhir Sriwijaya Air, pasca pemberian tenggat masa transisi peralihan kepemimpinan di Sriwijaya Air pada 24 September 2019. Selain itu juga bermula ketika anak usaha Garuda Indonesia, GMF Aero Asia menghentikan layanan perawatan (maintenance) pesawat Sriwijaya Air.
Hal itu membuat Sriwijaya Air dianggap tak memenuhi standar keamanan. Rekomendasi pun muncul setelah dilakukan pengawasan dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPU), Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Sriwijaya Air pun melakukan line maintenance sendiri dengan metode engineer on board (EOB) dengan jumlah 50 orang. Terdiri dari 20 orang certifying staff, 25 orang RII dan certifying staff dan 5 orang management and control. Personel tersebut terbagi dalam 4 grup.
Sriwijaya Air pun juga melakukan kerja sama line maintenance dengan PT JAS Engineering sebagai pemegang AMO 145 pada 3 hari sejak 24 September 2019. Selain itu, Sriwijaya Air juga melakukan kerja sama brake and wheel dengan PT Muladatu dan PT JAS Engineering sebagai pemegang AMO 145.
DKPU pun akan melaksanakan pengawasan dan evaluasi kegiatan operasi penerbangan berdasarkan kemampuan yang dimiliki Sriwijaya Air tersebut. Setelah dilakukan pertemuan dan diskusi dengan Direktur Tekniknya pada 28 September 2019, serta mendengar laporan dari DGCA diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.
Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan Line Maintenance.
Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A yang artinya tidak dapat diterima dalam situasi yang ada. Index itu menganggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
Dengan menimbang uraian tersebut, maka pemerintah sudah mempunyai cukup bukti dan alasan untuk menindak Sriwijaya Air setop operasi karena berbagai alasan tersebut.
Sehubungan dengan hal itu setelah didiskusikan maka direkomendasikan Sriwijaya Air menyatakan setop operasi atas inisiatif sendiri.
"Memang risiko belum tentu terjadi, tetapi menganalisis dari indikasi yang terjadi dan proses yang ditemukan merupakan hazard, yang berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan dan mendatangkan sanksi terhadap perusahaan dan personil jika dianggap dengan sengaja melanggat atas pasal-pasal dari UU nomor 1 tahun 2019 tentang Penerbangan," tulis Toto
Sejumlah direksi PT Sriwijaya Air menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini menyusul beredarnya surat rekomendasi setop terbang maskapai tersebut.
Direksi yang mundur adalah:
Direktur Operasi: Capt. Fadjar Semiarto
Direktur Teknik: Romdani Ardali Adang
Direktur Operasi Sriwijaya Air Capt Fadjar Semiarto mengatakan dirinya salah satu yang bertanggung jawab atas adanya berita soal maskapainya yang diminta berhenti beroperasi.
"Kami yang bertanggung jawab sangat peduli atas kekhawatiran itu. Kita sepakat saya," ujar Semiarto saat konferensi pers di kawasan Sabang, Jakarta Pusat, Senin (30/9/2019).
Oleh karena itu, dia bersama direksi lainnya menyatakan mundur dari kursi kepemimpinan Sriwjiaya Air.
"Kami memutuskan untuk mengundurkan diri untuk menghindari conflict of interest," ujarnya.
Kedua direksi itu mengumumkan pengunduran diri di depan media. Awalnya dikabarkan ada 3 direksi yang hadir dalam konferensi pers, direksi yang ketiga adalah Direktur Quality, Safety & Security Sriwijaya Air Capt. Toto Soebandoro.
Toto telat hadir dalam konferensi pers. Sementara Fadjar dan Romdani telah mengumumkan pengunduran diri. Ketika Toto tiba di lokasi dia belum menyatakan mengundurkan diri.
"Saya tidak mau memberikan statement apa-apa dulu. Saya ingin berdiskusi dengan 2 rekan saya ini," ujarnya.
Toto merasa kaget dengan pernyataan kedua rekannya itu. Dia mengaku hadir untuk berdiskusi dengan kedua rekannya itu.
"Tampaknya rekan saya sangat kecewa. Besok silahkan tanya apa saja ke saya. terus terang ini membuat saya shock," ujarnya.
Sekadar informasi, dalam keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Sriwijaya Air 24 September 2019, pemegang saham mengangkat Robert Daniel Waloni sebagai Direktur Utama. Kemudian Robert menunjuk Jefferson I. Jauwena menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Sriwijaya Air.
Ada juga Direktur Komersial Rifai, Direktur Keuangan Amrullah Hakiem dan Direktur Legal & Sumber Daya Manusia Anthony Raimond Tampubolon.
Kondisi keuangan Sriwijaya Air semakin amburadul. Kendala di sektor operasional membuat perusahaan semakin tekor, bahkan mencapai Rp 3,2 miliar selama kurang dari 1 bulan.
Direktur Operasi Sriwijaya Air Capt. Fadjar Semiarto menjelaskan, potensi yang memberatkan keuangan perusahaan adalah terkait service recovery atau uang ganti rugi untuk seluruh kegiatan operasional.
"Ada potensi memang, tapi dana untuk service recovery baik retiming penalty 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam sampai pax transfer itu dananya masih ada. Tapi dalam sehari saya bisa tanda tangan mungkin mendekati Rp 1 miliar untuk service recovery," ujarnya.
Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Sriwijaya Air, Sunandar yang juga bekerja sebagai customer relation di Sriwijaya Air menambahkan, jika pesawat delay selama 30 menit kompensasi diberikan air mineral, 1 jam snack, di atas 2 jam makanan berat.
"Kita biasajya kasih KFC atau MCD, nah untuk harganya tergantung dari lokasinya," ujarnya.
Bukan hanya itu, menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015, jika telat hingga 4 jam, maskapai harus membayarkan kompensasi hingga Rp 300 ribu. Jika penumpang ingin tetap berangkat, maskapai juga harus membelikan tiket penumpang ke maskapai lainnya.
Lalu jika tidak ada penerbangan lainnya, maskapai juga harus menanggung biaya penginapan untuk penumpang.
Nah yang menjadi masalah, armada pesawat Sriwijaya Air sudah berkurang jauh sejak berpolemik dengan Garuda Indonesia. Sejak GMF Aero Asia tak lagi membantu Sriwijaya Air banyak pesawatnya yang tak bisa beroperasi.
"Bayangkan dari 30 pesawat jadi hanya 10 pesawat. Itu kan artinya kita harus memotong jumlah penumpang. Banyak yang kita cancel penerbangannya," ujarnya.
Dengan membatalkan banyak penerbangan, maka Sriwijaya Air harus membayarkan seluruh servicer recovery itu. Menurut catatannya dari 3-26 September 2019 total service recovery yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 3,2 miliar.