Padahal, catatan Bank Dunia bahwa setiap 1% pertumbuhan urbanisasi di perkotaan mampu mendorong produk domestik bruto (PDB) sebesar 1,4%. Angka ini, ternyata masih rendah dibandingkan China yang mampu mendorong 3% PDB per kapita dari persentase pertumbuhan urbanisasi sebesar 1%. Sementara negara-negara di Asia Timur dan Pasifik lainnya yang mencapai 2,7% terhadap PDB per kapita.
"Tidak setiap orang bisa mendapatkan manfaat kesejahteraan dan kelayakan huni yang dihasilkan urbanisasi," kata Global Director for Urban and Territorial Development, Disaster Risk Management and Resilience Bank Dunia, Sameh Wahba di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (3/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga saat ini, tercatat ada sekitar 151 juta orang atau 56% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Angka ini meningkat drastis dibandingkan pada tahun 1945 atau pertama kali urbanisasi dilakukan, yaitu hanya satu dari delapan orang yang tinggal di perkotaan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, tingkat kesenjangan di kawasan pedesaan non metro masih 43% lebih rendah daripada daerah inti metro DKI Jakarta pada tahun 2015. Kesejahteraan di kawasan pinggiran pedesaan dan perkotaan non metro juga rendah, masing-masing 35% dan 27% lebih rendah dibandingkan DKI Jakarta.
Begitu juga dengan kawasan-kawasan pinggiran perkotaan yang hanya 7% lebih rendah dibandingkan DKI Jakarta. Sehingga, masih tercatat adanya disparitas kesejahteraan.
"Masih ada kesenjangan kesejahteraan," ujar dia.
Menurut Sameh, akibat dari kesenjangan tersebut berdampak pada sejumlah hal yang ada di perkotaan. Seperti polusi udara, kemacetan lalu-lintas, hingga meningkatnya penduduk Indonesia yang tinggal di permukiman kumuh.
(hek/eds)