Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sendiri mengaku lifting alias produksi gas di kuartal tiga menurun. Menurutnya, ada tiga hal yang membuat produksi gas menurun.
Pertama adalah karena terjadinya kebakaran hutan di Pulau Sumatera yang memaksa unit produksi migas di sana harus berhenti demi aspek keselamatan. Salah satu unit produksi yang terpaksa berhenti sementara adalah blok migas Rokan di Riau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kebakaran, adanya penurunan harga gas global pun memaksa produksi gas untuk dikurangi. Alasannya karena kalau gas dijual banyak dengan harga murah, pendapatannya hanya sedikit. Sementara itu cadangannya akan cepat habis.
"Karena harga gas dunia rendah sehingga lebih baik (gas) disimpan daripada dijual. Karena itu terpaksa kita kurangi produksi," ungkap Dwi.
Selain itu, produksi gas juga turun karena produksi besar yang diharapkan dari unit produksi Offshore North West Java tidak bisa terealisasikan. Pasalnya, beberapa waktu lalu terjadi kebocoran sumur di kilang ONWJ.
"Karena ada kejadian di ONWJ sehingga harusnya ada tambahan lifting menjadi tidak tejradi, karena kejadian itu," ujar Dwi.
Kalau dibandingkan capaian produksi gas pada September 2019 lebih kecil 50 juta setara barrel per hari dibandingkan dengan April 2019. Produksi gas di bulan September cuma mencapai 1,05 juta setara barel per hari. Sementara pada April realisasinya bisa menyentuh hingga 1,55 juta
Hingga kini pun lifting migas dinilai masih belum mencapai target dari APBN. Sebab, lifting migas dalam APBN ditargetkan 775 ribu bopd untuk minyak dan 1,25 juta bopd untuk gas.
(dna/dna)