Pertama, APTI Jabar mengajukan keberatan atas kenaikan cukai rokok sekitar 23% yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 152 tahun 2019.
"Yang pertama memperhatikan kenaikan cukai, ini perlu dipertimbangkan, jangan terlalu tinggi sampai 23%. Kami minta 10-15%. Kata Pak Dirjen itu di dalam proses pembahasan di tingkat menteri," ujar Pengurus DPC APTI Jabar, Didi Rohmana kepada detikcom di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, terkait Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diatur dalam PMK nomor 222 tahun 2017. Dalam aturan tersebut, Didi mengatakan, petani meminta agar DBH CHT yang diperuntukkan untuk petani dan juga untuk program kesehatan di Pemerintah Daerah (Pemda) dibagi rata, yakni 50% dan 50%. Didi mengungkapkan, dalam regulasi tersebut diatur DBH CHT untuk kesehatan minimal 50%. Dalam implementasinya, DBH CHT untuk kesehatan dapat tembus hingga 90%, dan untuk petaninya hanya 10%.
"DBH CHT kan dibagi dua, untuk kesehatan dan untuk petani. Pembagian PMK yang sekarang itu kan paling sedikit 50% untuk kesehatan. Jadikan 50-50% lah, jadi ada untuk petani. Tapi kalau paling sedikit itu petani kan hanya 10%. Makanya kami minta pembatasannya jangan minimal, tapi maksimal," terang Didi.
Ketiga, terkait volume impor hasil tembakau di industri. APTI meminta agar pemerintah membatasi impor tembakau agar tembakau petani dalam negeri bisa terserap lebih banyak dan harga tak anjlok.
"Impor tembakau yang besar-besaran masuk ke kita, makanya harga tembakau kita turun karena dilanda impor. Itu kebanyakan di Jawa Tengah (Jateng), di pabrik-pabrik rokok. Kalau impor terlalu banyak otomatis harga tembakau lokal akan turun," papar Didi.
Dalam aksi tersebut, 12 orang perwakilan APTI Jabar menemui Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi untuk menyampaikan tiga poin di atas. Pertemuan itu berlangsung hampir dua jam.
(dna/dna)