Menanggapi itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah menyayangkan hal itu bisa terjadi. Apalagi kejadian tersebut difasilitasi oleh Pemkot Bekasi.
"Seharusnya tidak ada kegiatan-kegiatan pemaksaan dan sangat disayangkan difasilitasi oleh pemerintah daerah," kata Pieter saat dihubungi detikcom, Senin (4/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pieter, kejadian tersebut dapat menghambat investasi. Sehingga menyebabkan ketidakpastian terhadap dunia usaha.
"Inilah yang jadi hambatan investasi. Dunia usaha itu paling anti yang seperti itu. Kalo sudah di luar jalur normal, ditentukan tarifnya berapa, menyebabkan ketidakpastian terhadap dunia usaha," jelasnya.
Tanggapan lain dilontarkan oleh peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati. Menurutnya, jika kejadian tersebut ada regulasi yang mengatur, maka tidak akan mengganggu investasi.
"Ormas kan nggak bisa sendiri, jadi harusnya berdasarkan regulasi. Selama itu pengelolaannya jelas, tidak merugikan masyarakat, dan memberikan kepastian ya tidak akan mengganggu investasi tentu," imbuh Enny.
Dalam video viral yang beredar, tampak Kepala Bapenda Kota Bekasi Aan Suhanda mengatakan bahwa hal ini sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 dan Perda No. 10 Tahun 20019.
"Bahwa dinyatakan Alfamart semua se-Kota Bekasi ada 606 titik Alfamart, Indomaret dan Alfamidi dan pada hari ini sesuai UU 28 No 2009 dan Perda No 10 Tahun 2019 bahwa Alfamart, Indomaret, Alfamidi itu sudah termasuk kategori pajak, tidak lagi retribusi, kontribusi (tetapi) wajib pajak. Sudah kita golongkan NPWD se-Kota Bekasi," ujar dia.
(dna/dna)