Majelis hakim dalam putusan menolak tuntutan jaksa yang meminta agar aset tersebut dikembalikan kepada korban.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menyampaikan kalau negara tidak memiliki alasan untuk menyita aset First Travel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, daripada 'merampas' aset First Travel, akan lebih baik bila pihak-pihak berwenang membentuk komisi ganti rugi. Di mana nantinya komisi ganti rugi ini akan bertugas untuk mengatur bagaimana bentuk dan mekanisme pembagian ganti rugi kepada para korban.
Intinya, menurut Tulus aset tersebut harus dikembalikan pada konsumen sebagai korban bagaimanapun bentuknya, bukan disita negara.
"Seharusnya putusan hakim memerintahkan untuk membentuk komisi ganti rugi, yang bertugas untuk mengatur bagaimana bentuk dan mekanisme pembagian ganti rugi. ini sangat penting dilakukan karena aset FT yang disita tidak sebanding dengan jumlah korban yang mencapai lebih dari 63 ribuan calon jemaah," jelasnya.
"Bisa jadi kerugian yang dibagikan bukan berupa cash money, apalagi bentuk umrah ke tanah suci, tapi dalam bentuk lain, dan komisi ganti rugi itulah yang harus mendesain mekanismenya. Jadi intinya, aset itu harus dikembalikan pada konsumen sebagai korban bukan disita negara," jelas Tulus lagi.
Seperti diketahui, uang puluhan miliar yang disetor jemaah ke First Travel disalahgunakan oleh pemiliknya, yaitu Andika dan Anniesa. Akibatnya, ribuan calon jemaah gagal umrah.
Setelah pasutri tersebut terbukti bersalah, pemerintah akan melelang aset-aset milik mereka. Namun sayangnya, uang hasil lelang itu tidak dikembalikan ke calon jemaah.
Uang hasil lelang malah akan diambil oleh negara. Hal tersebut diatur dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018. Putusan tersebut diketok oleh ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono.
(ang/ang)