RI Masih Sulit Tarik Pajak Netflix, Spotify hingga Google

RI Masih Sulit Tarik Pajak Netflix, Spotify hingga Google

Hendra Kusuma - detikFinance
Senin, 25 Nov 2019 18:32 WIB
Foto: Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sampai saat ini masih kesulitan memungut pajak perusahaan internasional berbasis digital yang meraup keuntungan di Indonesia. Mulai dari Netflix, Spotify, Google, Facebook, hingga Twitter.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, sulitnya otoritas pajak nasional memungut lantaran kehadiran fisik atau kantor dari perusahaan digital internasional tersebut tidak berada di tanah air.

"Jadi ada dua jenis pajak, kalau barang berwujud maka bea cukai ada di situ, kalau kita beli film mungutnya gimana?," kata Suryo saat ngobrol santai di kawasan TVRI, Jakarta, Senin (25/11/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Suryo menjelaskan sejatinya setiap perusahaan yang mendapatkan penghasilan di Indonesia maka wajib membayarkan pajaknya ke Pemerintah. Untuk perusahaan internasional berbasis digital seperti Netflix, Spotify, Google, Facebook, hingga Twitter maka harusnya membayarkan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).

Selama ini UU PPN yang berlaku mengenalnya setiap transaksi barang maupun jasa harus dilaporkan oleh perusahaan yang memungutkan kepada DJP. Begitu juga dengan PPh, perusahaan tersebut harus melaporkan. Namun, karena perusahaan internasional tersebut tidak memiliki kantor cabang membuat pelaporan menjadi sulit.

"Tapi secara prinsip kita ingin fairplay, siapa yang membeli harus membayar, siapapun yang menghasilkan di Indonesia harus bayar. Itu saja intinya," ungkapnya.


Kapan Pemerintah Bisa Tarik Pajak Netflix Cs?


Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan bahwa salah satu cara menarik pajak perusahaan internasional berbasis digital melalui aturan omnibus law perpajakan yang sedang disusun Pemerintah.

"Dengan omnibus kita minta tolong 'hei kamu tolong pungutin' meskipun orangnya di luar," kata Suryo.

Suryo menjelaskan dengan omnibus law perpajakan maka Pemerintah merevisi beberapa aturan seperti halnya mengenai bentuk usaha tetap (BUT). Dalam omnibus law, Pemerintah tidak mengharuskan kehadiran fisik berupa kantor cabang di Indonesia melainkan mengacu pada significant economic presence. Maksudnya, setiap perusahaan yang mendapatkan penghasilan di Indonesia maka harus membayarkan kewajiban pajaknya ke Pemerintah.

Dengan kata lain, perusahaan internasional tersebut harus mencatat dan melaporkan pajak dari setiap transaksi yang dilakukan di tanah air.

"Jadi kenapa kita membuat pilar di omnibus mengenai pemungutan PPN oleh yang ada di luar negeri, Karena luar negeri by UU bukan subjek pajak kita, kalau barang jelas lewat Priok dan Soetta, kalau beli jasa beli film kan langsung lewat kabel masuk rumah," jelas dia.

Suryo mengaku belum bisa memastikan kapan omnibus law perpajakan akan diterbitkan. Hanya saja pembahasannya sudah masuk tahap finalisasi.

"Omnibus sudah finalisasi, kan melibatkan beberapa kementerian, beberapa isu sudah banyak berubah seperti PDRD, kalau yang lain tidak banyak berubah," kata Suryo.

Dengan kata lain, Pemerintah baru akan bisa menarik pajak Netflix cs setelah omnibus law diterbitkan, Meski begitu, Suryo mengatakan bahwa pada prinsipnya Pemerintah ingin menerapkan pemungutan pajak yang berkeadilan.

"Nah lewat omnibus nanti kita lihat diskusinya seperti apa. Tapi secara prinsip kita ingin fairplay, siapa yang membeli harus membayar, siapapun yang menghasilkan di Indonesia harus bayar. Itu saja intinya," ungkap dia.


(hek/das)

Hide Ads