Dengan kata lain masih kurang Rp 441 triliun dari target. Pertanyaannya, kenapa sulit mencapai atau paling tidak mendekati target penerimaan pajak?
"Menutup 2019, pajak penghasilan Indonesia hampir pasti jauh dari harapan. Ancaman resesi global khusus pertumbuhan ekonomi negatif secara berulang di negara-negara yang ukuran ekonominya terhadap ekonomi global cukup besar bukan isapan jempol. Permintaan global yang menurun telah membuat negara yang berbasis ekspor kelimpungan," kata Partner; DDTC Fiscal Research, Bawono Kristiaji di Bakoel Koffie, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sayangnya, hal ini tidak direspons secara cepat pada semester I-2019. Faktor pemilu agaknya jadi alasan. Pemilu yang diadakan pada bulan April tidak langsung telah mengurangi ruang improvisasi pemerintah dalam pemungutan pajak," tambahnya.
Ekonom Fiskal DDTC Fiscal Reseach, Denny Vissari menambahkan dari sisi kinerja penerimaan pajak juga terbilang buruk. Tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi menurun.
"Kuartal II-2019 tax bouyancy 0,49 dan kuartal III-2019 ternyata mengalami pelemahan lagi tax buoyancy kita hanya 0,03 dibanding (kuartal yang sama di 2018) sebelumnya 1,6," tuturnya.
Tak hanya itu, rasio pajak hingga kuartal III-2019 juga kembali turun di bawah 10% yakni hanya 9,72%. Seharusnya pemerintah bisa mendorong rasio pajak hingga 11-12%.
"Ketika perdagang dan harga komditas turun, sayangnya kita tidak antisipasi cepat. Karena kita ada pemilu di awal tahun. Barulah di semester kedua direspon ketika pemerintahan baru terbentuk," tutupnya.
(das/hns)