Cerita Lengkap Jiwasraya Sembuhkan Diri Tanpa 'Suntikan' Negara

Cerita Lengkap Jiwasraya Sembuhkan Diri Tanpa 'Suntikan' Negara

Dana Aditiasari - detikFinance
Jumat, 20 Des 2019 15:20 WIB
Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah menjadi sorotan lantaran sejak Oktober 2018 lalu perusahaan sempat melakukan penundaan pembayaran klaim kepada nasabah produk Saving Plan.

Teranyar, perseroan malah mengumumkan tidak sanggup membayar polis JS Saving Plan milik nasabah senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.

Kepada detikcom, Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, mengungkapkan terpuruknya kondisi Jiwasraya sudah berlangsung sejak lama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya mulai menjabat itu tahun 2008. Saat itu Jiwasraya sudah dinyatakan insolvent (tak sanggup membayar kewajibannya) dengan RBC minus 580% yang berarti kekurangan cadangan kurang lebih Rp 6,7 triliun," kata Hary saat berbincang dengan detikcom di sebuah kafe di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).

RBC atau Risk based capital adalah rasio solvabilitas yang menunjukkan kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Semakin besar RBC perusahaan tersebut, semakin sehat pula kondisi finansialnya.

Dengan kondisi RBC Jiwasraya di angka minus 580%, maka perusahaan asuransi pelat merah itu bisa dikatakan bangkrut.

Hary dan direksi Jiwasraya lainnya kala itu ditunjuk untuk menyehatkan kembali perusahaan. Tim direksi Jiwasraya yang dipimpin Hendrisman Rahim kala itu langsung melakukan pembenahan besar-besaran.

Sayang, perjalanan Jiwasraya tak berjalan mulus. Usulan suntikan modal negara atau PMN kepada pemerintah tak disetujui mengingat saat itu Indonesia tengah menghadapi krisis. Pada tahun 2008-2009 Indonesia memang tengah mengalami krisis moneter imbas krisis ekonomi global yang nyaris melanda seluruh dunia.

"Ketika itu Menteri keuangan menyatakan negara tidak punya uang. (Akhirnya) Jalan sendiri," papar Hary.

Dengan kondisi keuangan yang negatif tanpa ada suntikan negara, tim direksi kemudian memutar otak menyusun rencana penyelamatan jangka panjang.

"Waktu itu kita sepakat, oke perusahaan ini bisa selamat tanpa modal negara. Kami harus mengandalkan aset kami sendiri yang total nilainya Rp 4 triliun sekian. Tapi penyelamatannya itu butuh 17 tahun sejak 2008. Artinya perusahaan baru akan benar-benar sehat pada 2022," bebernya.

Langkah pertama yang dilakukan perusahaan adalah dengan melakukan reasuransi atau menjaminkan asetnya kepada perusahaan asuransi lain di luar negeri.

"Singkat cerita 2009 akhirnya kita bisa selamatkan dengan yang namanya reasuransi. Kita menitipkan, liabilitas tadi yang Rp 6,7 triliun di luar negeri, kita reasuransikan," jelasnya.

Masalah kembali datang ketika tahun 2013, Pemerintah Indonesia menerapkan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang salah satunya berisi larangan transaksi reasuransi seperti yang diterpakan perusahaan. Akhirnya, perusahaan menarik aset tersebut kembali ke dalam negeri.

"Akhirnya tahun 2013 ada implementasi IFRS, bahwa transaksi yang seperti ini tidak diperbolehkan. Dampaknya kami harus beri capture tadi yang diasuransikan kembali ke Jiwasraya. Apa dampaknya? Bankrut lagi," tutur Hary lagi.

Namun, perusahaan kembali selamat dari bangkrut karena melakukan revaluasi aset yang bila ditotal nilainya adalah sekitar Rp 6,4 triliun. Hasil revaluasi aset itu digunakan untuk menutup utang warisan sejak 2008 yang sebesar Rp 6,7 triliun.

"Tapi sudah sehatkah Jiwasraya? Belum! Saya tegaskan Jiwasraya belum sehat ketika itu," jelas dia.

Hary melanjutkan penjelasannya, kala itu, Jiwasraya dikatakan sudah sehat secara laporan keuangan namun belum secara operasional. Mengingat, proses penyehatan perusahaan selama 17 tahun tadi memang belum rampung.


Dengan kondisi operasional yang masih terseok-seok, perusahaan masih bisa bertahan dan memastikan pembayaran kewajiban kepada peserta tak pernah tertunda apa lagi sampai gagal bayar.

Salah satu strateginya adalah dengan mengembangkan dana yang dikelola perusahaan pada investasi saham. Namun lagi-lagi, kondisi keuangan perusahaan yang minim membuat manajemen harus bekerja ekstra.

Perusahaan harus jeli memilih jenis saham yang menghasilkan imbal hasil tinggi meski dengan risiko yang tinggi pula. Alasan minimnya ketersediaan dana perusahaan tadi juga yang menjadi alasan perusahaan menghindari saham lapis satu atau yang biasa dikenal dengan istilah Blue Chip.

"Kalau saya mau beli, kalau kita mutuskan untuk beli, beli blue chip deh wah sangat senang saya, nggak usah repot-repot pak. Beli blue chip selesai, tapi cukup nggak uang kita waktu itu?" kata dia.

Pernyataan Hary merujuk pada harga saham kategori blue chip yang biasanya sangat tinggi. Salah satu saham kategori Blue Chip saat ini harga per lembar sahamnya telah menyentuh angka Rp 40.700. Bila disimulasikan untuk pembelian 1 lot saham yang berisi 100 lembar saham, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sekitar Rp 4 juta/lot saham.

Dengan jumlah dana yang sama, investor bisa membeli lebih banyak saham lapis dua atau lapis tiga.

Selain harganya mahal, Hary mengatakan bahwa biasanya saham Blue Chip memiliki imbal hasil atau keuntungan yang kurang memadai. Karena harganya yang sudah terlanjur tinggi, umumnya kenaikan harga saham kategori Blue Chip kurang agresif.

"Retur-nya (keuntungannya) cukup nggak blue chip?. Apa yang akan terjadi jika tidak agresif? Bangkrut lagi pak, sudah tutup. Karna RBC pasti di bawah 120% rewardnya harus di atas 10% pak. Tidak ada pilihan (masuk ke saham berisiko tinggi)," beber dia.

Dengan strategi itu, perusahaan berhasil meningkatkan kinerja perusahaan hingga pada tahun 2017 dilaporkan total aset perusahaan berhasil dikembangkan menjadi Rp 40 triliun lebih dari semula hanya sekitar Rp 4 triliun di 2008.

"2017, selesai itu pertumbuhannya selalu meningkat. Dari aset yang tadi Rp 4 koma sekian triliun menjadi Rp 40 sekian triliun," lanjutnya.


Pun demikian, perusahaan masih belum bisa dikatakan sehat.

"Ingat, pemulihan perusahaan makan waktu 17 tahun sejak 2008. Artinya, direksi yang baru masih harus menjalankan rencana pemulihan tadi sampai tahun 2022. Kalau itu nggak dilanjut, ya perusahaan bisa goyang lagi," tegas dia.

Sementara, perihal kondisi gagal bayar terjadi selepas ia tak lagi menjabat, Hary enggan berkomentar banyak.

"Itu saya nggak mau komentar," tandas dia.

Hide Ads