Ramalan BI Soal Perekonomian Global 2020

Ramalan BI Soal Perekonomian Global 2020

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 30 Des 2019 14:35 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Kondisi perekonomian dunia tahun depan diprediksi masih akan menghadapi ketidakpastian yang tinggi. Ekonomi global sedikit banyak terpengaruh oleh data-data perekonomian dari Amerika Serikat (AS).

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menjelaskan bank sentral AS atau The Federal Reserve sudah mengarah ke dovish. Hal ini tercermin dari tak ada lagi penurunan suku bunga acuan, bahkan sampai 2020 diprediksi bunga acuan masih tetap.

"Mereka (AS) sudah concern pada masalah inflasi, artinya AS sudah melihat jika recovery negara mereka sudah lebih stabil," kata Destry kepada detikcom, akhir pekan lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengungkapkan, namun banyak kalangan yang mempertanyakan berapa lama jangka waktu kondisi ini bertahan.

Hal ini karena jika dilihat dari sumber pertumbuhannya, AS masih mengandalkan konsumsi masyarakat, sama seperti Indonesia.


"Konsumsi masyarakat masih jadi andalan, tapi investasinya belum juga. Sekarang kita lihat juga pemerintahannya lebih ekspansif, mereka agresif mengeluarkan dana untuk fiskal dalam jangka waktu 3 tahun ke depan," jelas dia.

Menurut Destry, recovery pertumbuhan yang dialami oleh AS masih dibayangi oleh down side risk. Padahal apa yang terjadi di Amerika (AS) ini sangat menentukan pengaruh ke negara lain.



Kemudian dari Inggris, tarik ulur keputusan Brexit menimbulkan ketidakpastian di pasar global. "Kemungkinan Brexit ini bisa terjadi, tetapi mungkin bisa juga no deal. Ini yang membuat ketidakpastian," jelas dia.

Selain itu melambatnya perekonomian Eropa juga menyebabkan masalah di benua biru tersebut. Selanjutnya, China juga dinilai cukup mengkhawatirkan.



Negeri tirai bambu ini pertumbuhan ekonominya makin lama makin lambat dan telah membuat sejumlah korporasi terdampak. "Bayangkan China dengan skala GDP terbesar nomor 2 ini hanya tumbuh sekitar 6%, itu tidak akan mungkin bisa mengangkat perekonomian mereka. China downside risknya juga besar," jelas dia.

Menurut Destry hal-hal ini turut mempengaruhi kondisi perekonomian di negara lain. Termasuk di Indonesia, misalnya dengan China yang merupakan panutan untuk seluruh emerging market. Jika China 'goyang' maka emerging market lain akan terasa lebih cepat.

Termasuk Indonesia, di mana China merupakan negara utama tujuan ekspor. Sehingga kedekatan ekonominya cukup baik. Namun kini banyak investasi yang justru hengkang dari China.

Menurut dia, jika dilihat dari sisi global maka perekonomian belum bisa berharap banyak. Indonesia bisa mengandalkan sumber domestik. "Selama ini kita support konsumsi masyarakat yang stabil di 5%. Tapi akhirnya kalau konsumsi tidak diimbangi dengan investasi kan tidak bisa sustain," jelasnya.

Karena itu, Destry menyebut saat ini pemerintah bersikeras untuk mendorong investasi agar tumbuh lebih cepat. Misalnya dengan Undang-undang Omnibuslaw yang disebut menjadi kunci investasi agar pertumbuhan ekonomi nasional bisa sustain.

BI menurut Destry, sejauh ini berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan berbagai terobosan mulai dari instrumen DNDF, Repo, FX Swap. Sehingga jika ada kekurangan likuiditas bisa ditangani oleh BI.

Kemudian untuk masalah inflasi, BI dan pemerintah memiliki tim pengendali inflasi daerah (TPID) yang sama-sama mengidentifikasi penyebab inflasi terbesar di daerah.

Selain inflasi yang terkendali, saat ini nilai tukar rupiah juga relatif stabil. Kemudian bank sentral juga menciptakan sistem pembayaran yang baik dan disesuaikan dengan kondisi digital ekonomi saat ini. Sehingga transaksi keuangan bisa cepat dan aman. Termasuk pengembangan ekonomi syariah yang potensinya masih sangat besar.




Simak Video "Video: BI Optimistis Ekonomi RI Tumbuh di Tengah Ketidakpastian Global"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads