Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan pihaknya telah melakukan investigasi pendahuluan terhadap Jiwasraya pada 2018 lalu. Dari hasil investigasi, dia menyebut permasalahan sudah terjadi sejak 2006.
"Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan Jiwasraya sebenarnya sudah terjadi sejak lama, meskipun sejak 2006 perusahaan masih membukukan laba, tapi laba tersebut sebenarnya adalah laba semu sebagai akibat dari rekayasa akuntansi atau window dressing di mana perusahaan sebenarnya sudah mengalami kerugian," kata Agung dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan seharusnya perusahaan menderita kerugian," katanya.
Lalu di tahun selanjutnya, 2018, Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian lebih dari Rp 15 triliun. Nilai kerugian itu kemudian turun menjadi Rp 13,7 triliun di 2019.
"Pada 2018, Jiwasraya membukukan kerugian 15,3 triliun dan sampai dengan September 2019 diperkirakan rugi sebesar Rp 13,7 triliun. Pada posisi November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun," jelasnya.
Agung menjelaskan, kerugian itu disebabkan karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Hal itu dilakukan sejak tahun 2015.
"Dana dari investasi tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana saham yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread," ujarnya.
"Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," tutup Agung.
(fdl/zlf)