Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan telah melakukan dua kali pemeriksaan terhadap Jiwasraya. Pertama pada 2018, dan kedua 2019. Dalam pemeriksaan pertama itu, BPK mendapatkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014-2015.
Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata menjelaskan, kasus Jiwasraya berisiko sistemik berbeda jika kasus tersebut terjadi pada perusahaan perbankan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isa mengatakan, permasalahan di perusahaan asuransi adalah bagaimana pertanggungan asuransi para nasabah dapat berjalan sesuai kontrak yang disepakati. Jika kasus tersebut menimpa perbankan, maka yang harus diutamakan adalah bagaimana uang nasabah kembali utuh.
"Jadi kalau di bank yang penting uang saya balik, di asuransi yang penting polis jalan sampai akhir masa pertanggungan. Di asuransi jiwa punya pertanggungan 15 tahun, idealnya paling baik gimana polisnya berjalan sampai akhir masa polis. Apakah di perusahaan sama atau dialihkan ke perusahaan lain. Itu uniknya asuransi. Kita tidak perlu hentikan perjanjian karena proteksi," jelas dia.
Isa menilai masalah Jiwasraya juga berbeda dengan perusahaan asuransi lainnya. Sebab, BUMN asuransi ini menjual produk saving plan dengan cost of fund (COF) yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015.
Pada produk itu, para nasabah bisa menghentikan programnya pada satu tahun pertama. Sehingga produk tersebut terkesan lebih kepada investasi dan bukan produk asuransi pada umumnya.
"Ini jenis saving plan yang lebih sarat ke jenis produk investasi meski ada proteksi di situ yang kemudian buat case Jiwasraya unik, tidak seperti case asuransi pada umumnya. Kalau umumnya, intensi regulator, mempertahankan polis supaya berjalan terus. Kalau ini, ada saving plan itu yang 1 tahun berhak menghentikan," ungkap dia.
BPK mendapatkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014-2015. Salah satu yang disoroti juga masalah pembelian saham yang teryata berujung pada istilah saham 'gorengan'.
Di era tahun 2000-an, BUMN merupakan tulang punggung pasar modal di Indonesia. Hal itu yang menjadi daya tarik investor untuk memiliki sahamnya. Sayangnya, tidak semua saham BUMN merupakan merupakan investasi yang aman dan menguntungkan.
"Membeli saham BUMN hanya supaya kelihatan investasinya bagus bagi auditor, tapi yang justru lebih banyak di BUMN lapis kedua atau saham BUMN 'gorengan' yang belum tentu bagus, dan belakangan terbukti tidak bagus," kata analis dan pengamat pasar modal, Satrio Utomo.
Menurut dia, kebijakan yang dilakukan manajemen Jiwasraya pada saat itu dengan membeli saham BUMN 'gorengan' yang pada kenyataannya tidak terlalu diminati.
"Jiwasraya investasi justru di BUMN yang menengah kecil, peminat tidak terlalu banyak dan cenderung lemah. Tidak tepat kalau investasi dalam jumlah besar di sana," ujar dia.
(hek/eds)