Membedah Pasal Omnibus Law yang Bikin Resah Buruh

Membedah Pasal Omnibus Law yang Bikin Resah Buruh

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 20 Jan 2020 14:38 WIB
Foto: Massa buruh bertahan di depan gedung DPR meski hujan. (Sachril-detikcom)
Jakarta - RUU Sapu Jagat atau Omnibus Law mendapatkan penolakan dari para buruh. Ada beberapa hal yang membuat para buruh menolak Omnibus Law Cipta khususnya Lapangan Kerja.

detikcom mencoba mendata hal apa saja yang bikin resah, dan fakta di RUU nya seeprti apa. Apakah sama dengan yang ditakutkan buruh, atau ternyata tidak ada perubahan sama sekali dari UU sebelumnya. Yuk disimak.

Cuti Hamil

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya, soal cuti hamil untuk buruh perempuan. Aturan itu tak dijelaskan dalam beleid tersebut.

Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 diatur tentang cuti hamil. Misalnya di Pasal 82 yang menyebut buruh perempuan berhak mendapatkan istirahat 1,5 bulan sebelum lahir dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.

Memang dalam draft yang diterima detikcom, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tidak ada yang mengatur cuti hamil untuk buruh perempuan. Namun, bukan berarti omnibus law akan menghapuskan aturan yang tercantum dalam UU sebelumnya. Karena, omnibus Law ialah UU yang dibuat untuk menyasar satu isu tertentu dalam UU sebelumnya.


Selain itu, dilihat detikcom pada Senin (20/1) dalam Bab VII tentang Ketentuan Penutup omnibus law Cipta Lapangan Kerja, Pasal 82 yang tercantum dalam UU Tenaga Kerja tidak termasuk pasal yang dicabut.

Sanksi Pidana Pengusaha

Lalu isu kedua, ada isu Omnibus Law menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sanksi itu sebelumnya juga diatur dalam UU 13 Tahun 2003.

Misalnya pengusaha yang membayar upah di bawah minimum bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun.

Tapi sekali lagi bukan berarti tidak tertuang dalam draft Omnibus Law maka aturan itu hilang. Lagipula dalam draft tersebut juga masih menjabarkan sanksi-sanksi yang bisa diterima pengusaha.

Misalnya dalam draft Omnibus Law Pasal 445 pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. Pasal yang dimaksud mengacu pada UU 1 Tahun 200

Karpet Merah Tenaga Kerja Asing (TKA)

Lalu ada juga penolakan lantaran membebaskan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Dengan begitu para buruh khawatir ketersediaan lapangan kerja semakin berkurang dengan kedatangan para TKA.

Jika dilihat dari draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, ada beberapa pasal yang mengatur tentang penggunaan TKA dalam BAB IV Ketenagakerajaan. Misalnya di Pasal 437 dijelaskan setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal itu juga menyebut pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. Selain itu disebutkan TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.


Dalam Pasal 438 perusahaan yang ingin menggunakan TKA juga diwajibkan memberikan keterangan. Misalnya alasan penggunaan tenaga kerja asing, jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan, jangka waktu penggunaan TKA, serta penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan.

Dalam Pasal 49 disebutkan juga TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan ter tentu. Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud diatur dengan Keputusan menteri.


Upah

Para buruh juga menolak sistem pengupahan yang ada dalam draft beleid tersebut. Menurut mereka sistem pengupahan nantinya akan diubah menjadi perhitungan jam. Jika pekerja bekerja kurang dari 40 jam seminggu berpotensi mendapatkan gaji di bawah upah minimum.

Berdasarkan bahan penjelasan Kemenko Perekonomian, Omnibus Law memang akan mengatur skema upah per jam. Namun upah minimum yang biasanya juga tidak dihapuskan.

Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja baru yang bekerja kurang dari 1 tahun, namun pekerja tersebut tetap dimungkinkan menerima upah di atas UM dengan memperhatikan kompetensi, pendidikan dan sertifikasi.

Perusahaan dapat menerapkan skema upah per jam dengan beberapa syarat. Misalnya untuk menampung jenis pekerjaan tertentu seperti konsultan, pekerjaan paruh waktu, dan lainnya, serta jenis pekerjaan baru seperti di bidang ekonomi digital.

Pemerintah juga beralasan untuk memberikan hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan tersebut, perlu pengaturan upah berbasis jam kerja, yang tidak menghapus ketentuan upah minimum. Apabila upah berbasis jam kerja tidak diatur, maka pekerja tidak mendapatkan perlindungan upah.

Pesangon

Para buruh juga mengkhawatirkan hilangnya pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Pesangon itu ubah menjadi tunjangan PHK.

Namun berdasarkan draft RUU tentang Penciptaan Lapangan Kerja masih mengatur pembayaran pesangon. Besaran perhitungan uang pesangonnya pun sama dengan yang diatur dalam UU 13 Tahun 2003.

Misalnya untuk masa kerja kurang dari 1 tahun dapat 1 bulan upah, lalu masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, dapat 2 bulan upah. Kemudian masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, dapat 3 bulan upah dan seterusnya.

Dalam bahan paparan Kemenko Perekonomian juga menyebutkan bahwa Omnibus Law masih memberikan perlindungan baru pekerja yang terkena PHK.

Pemerintah juga menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang berisi Cash Benefit Vocational Training dan Job Placement Access. JKP sendiri tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.

Pekerja yang mendapatkan JKP juga tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKM).

RUU Omnibus Law saat ini juga masih berupa draft. Sebelum diresmikan draft ini masih bisa berubah.

Hide Ads